Supriyanto Martosuwito: Meramal Masa Depan PDI Perjuangan

Oleh Supriyanto Martosuwito, wartawan senior

ORBITINDONESIA.COM - Para ilmuwan politik sejak lama mengategorikan PDIP sebagai partai personalistik dengan basis genealogis. Dua nama yang paling konsisten membahasnya adalah Marcus Mietzner (The Australian National University/ANU) di Canberra dan Dirk Tomsa, Associate Professor dari La Trobe University di Melbourne.

Marcus Mietzner dalam beberapa karyanya, ia menyebut PDIP sebagai “partai yang sangat tersentralisasi dengan kepemimpinan dinasti” ('highly centralized party with dynastic leadership') - di mana, sumber legitimasinya bukan ideologi, tetapi karisma historis Sukarno yang diwariskan ke Megawati.

Sedangkan Dirk Tomsa, Associate Professor dari La Trobe University - Melbourne, dalam bukunya "Electoral Politics in Indonesia" (2008), menyatakan PDIP sulit merekrut kader yang independen dari kontrol keluarga. Struktur partai sangat tergantung figur Megawati; mekanisme kaderisasi profesional hampir tidak tumbuh.

Kedua pengkaji ini relevan dengan cerita Zulfan Lindan dalam salahsatu podcast-nya saat menyinggung ide Erros Djarot - saat masih mesra dengan PDIP dan menjadi “Think Tank”-nya Megawati. Taufik Kiemas (almarhum) menolak ide Erros untuk menghadirkan kader luar dalam kepemimpinan partai banteng itu “PDIP adalah partai keluarga. Dan akan selalu dipimpin keturunan Bung Karno ” tegas Taufik Kiemas . Artinya, model kepemimpinan PDIP “bukan meritokrasi-kaderisasi” melainkan "genealogis-simbolik" .

Dalam kerangka ilmiah, ide Erros untuk membuka proses demokratis internal "memang bertentangan dengan DNA partai". Erros Djarot bukan sekadar “berbeda pendapat”, tetapi "mengancam struktur kekuasaan” di PDIP.

Pernyataan Taufik Kiemas, sebagaimana disampaikan Zulvan Lindan, bahwa “PDIP adalah partai keluarga” yang akan selalu dipimpin keturunan Bung Karno - bukan sekadar gengsi keluarga, tetapi juga strategi menjaga monopoli simbol yang menjadi sumber suara PDIP. Itu konsisten dengan kesimpulan para pakar di atas.

Erros mewakili generasi “kader gagasan”, bukan “kader kekerabatan”, sehingga benturannya tidak terhindarkan.

Dengan begitu, dari sudut pandang kajian politik, tersingkirnya Erros dari PDIP bukan anomali—melainkan pola.

Para peneliti politik Indonesia sering mencatat bahwa: setiap upaya demokratisasi internal di PDIP (era Sabam Sirait, Kwik Kian Gie, Arief Budiman, bahkan Risma belakangan) tidak pernah benar-benar diakomodasi, sebab demokratisasi akan mengurangi kontrol Megawati dan lingkar keluarga dalam.

Harus diakui, dalam kepemimpinan Megawati, soliditas di PDIP terjaga. Dalam kepemimpinan Megawati disiplin internal tinggi - dan menjadi syarat utama jabatan. Anggota wajib patuh, setia tak tergoyahkan.

Pengamat seperti Prof. Burhanuddin Muhtadi mencatat bahwa hanya Megawati yang sanggup menjaga PDIP tetap solid - meski kalah tiga kali.

Pernyataan Laksamana Sukardi bahwa “pemimpin partai yang gagal memenangkan pemilihan harusnya turun dan diganti” tak berlaku bagi PDIP dan Megawati. Dari pusat hingga ranting, loyalitas personal ke Megawati masih terjaga. Kontrol terhadap struktur partai masih kuat.

Namun dengan terus mengandalkan pesona figur semata, sekaligus akan menjadi pembatasnya juga. Itu kelemahannya juga.

Dari luar pun, kita mulai melihat keterbatasannya. Mega tidak mampu menyiapkan suksesor - penerus. Bagi pengamat politik, ini ciri khas partai personalistik di Asia Tenggara. Lihat saja, Hun Sen dengan Cambodia People’s Party (CPP) sebelum transisi atau Filipina pada era Ferdinand Marcos.

Sementara itu, elektoral Puan Maharani yang digadang gadang jadi presiden berikutnya, seperti Bongbong Marcos atau BG Lee Hsien Loong, putra Lee Kuan Yew - tak kunjung naik. Data berbagai survei (LIPI, SMRC, Indikator) sejak 2019 menunjukkan elektabilitas Puan selalu stagnan di bawah 3–4%. Puan sakti di internal partai, tapi lemah di publik.

Konsekuensi ilmiahnya: ketika pemimpin sentral menua dan belum ada figur pengganti yang kompetitif, partai memasuki fase kerentanan suksesi atau "post-charismatic crisis".

Dirk Tomsa menyebut ini sebagai keretanan suksesi atau "succession vulnerability". Ya, PDIP sekarang tepat berada di fase kerentanan suksesi itu.

Bagaimana meramal masa depan PDIP?

Kemungkinan jelas suram bila tetap menjadi partai dinasti. Analisis relevan merujuk pada teori Partai Kartel (Katz & Mair) dimana “partai yang terlalu tertutup dan mengandalkan patron internal akan kesulitan merespons dinamika elektoral yang berubah cepat”.

Bagaimana kelak setelah Megawati mundur? Tak memimpin lagi? Post-Megawati Era? Hampir dipastikan, tanpa regenerasi profesional: suara PDIP akan menurun,jaringan struktural akan melemah, pemilih muda akan lari ke partai yang lebih cair (Golkar, Gerindra, PSI, PKB).

Maka, suram atau tidaknya PDIP tergantung: 1. Apakah Megawati berani membuka ruang kompetisi internal, 2. Apakah Puan mampu keluar dari bayang-bayang keluarga, 3. Apakah PDIP siap melepaskan dogma “partai keluarga Bung Karno”.

Rebus air, siapkan gula kopi, gelar tiker, nunggu tukang kacang lewat. Mari menonton! ***