Catatan Diskusi KSTI di ITB: Tren Teknologi Pertahanan 10–20 Tahun ke Depan, Antisipasi Strategis bagi Indonesia
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Senin, 11 Agustus 2025 02:10 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Dalam dua dekade mendatang, dinamika peperangan global akan memasuki fase yang semakin kompleks dan cepat. Perang tidak lagi terbatas pada darat, laut, dan udara, tetapi juga merambah ruang angkasa dan dunia siber — menciptakan medan tempur multi-domain yang saling terhubung.
Keputusan yang dulunya memerlukan jam bahkan pekan kini dapat diambil dalam hitungan detik, berkat kemajuan kecerdasan buatan (AI), komunikasi satelit, dan sistem otonom.
Bagi Indonesia, yang memiliki posisi strategis di jalur perdagangan dunia dan bentang wilayah maritim yang luas, memahami dan mengantisipasi tren ini adalah kebutuhan strategis, bukan sekadar pilihan. Tren teknologi yang perlu dicermati adalah:
Baca Juga: Pakar Polimer ITB, Ahmad Zainal Abidin: Galon Polikarbonat Aman Digunakan dan Ramah Lingkungan
1. AI & Otomatisasi Taktis/Strategis
AI akan menjadi “otak” dalam sistem pertahanan masa depan — mulai dari analisis intelijen real-time, manajemen logistik militer, hingga pengendalian sistem senjata otonom. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia telah mengintegrasikan AI ke dalam R&D pertahanan mereka, dengan tujuan mempercepat siklus keputusan tempur dan mengoptimalkan penggunaan sumber daya.
Implikasi bagi Indonesia adalah perlu membangun AI Center for Defence yang berfokus pada algoritma untuk pengenalan pola ancaman, pengambilan keputusan cepat, dan koordinasi pasukan lintas matra. Juga, memastikan kemandirian teknologi AI militer, agar tidak bergantung pada algoritma luar negeri yang rawan manipulasi atau sabotase.
Baca Juga: Tidak Hanya Penelitian ITB, BBKFK Kemenperin Juga Buktikan Galon Polikarbonat Aman Digunakan
2. Swarms & Sistem Otonom
Kawanan drone (swarm) — baik udara, laut, maupun darat — akan menjadi tulang punggung operasi ISR (Intelligence, Surveillance, Reconnaissance), serangan presisi, dan pengalihan pertahanan musuh. Kelebihannya adalah biaya rendah per unit tetapi memiliki efek taktis besar jika digunakan massal.
Implikasi bagi Indonesia adalah kita perlu mengembangkan swarm drone maritim untuk patroli laut, mengingat luasnya Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Juga, membangun kapasitas industri dalam negeri untuk produksi drone dalam jumlah besar dan biaya rendah.
3. Ruang Angkasa sebagai Infrastruktur Perang
Satelit smallsat, sistem navigasi PNT resilient (Positioning, Navigation, Timing), komunikasi militer terenkripsi, dan Space Situational Awareness (SSA) akan menjadi kunci keberhasilan operasi militer. Kehilangan akses satelit berarti kelumpuhan komando dan kontrol.
Implikasi bagi Indonesia adalah kita perlu meningkatkan investasi pada satelit militer dan ganda (dual-use) buatan dalam negeri, serta menyusun doktrin pertahanan ruang angkasa agar mampu melindungi dan memulihkan infrastruktur satelit jika diserang.
4. Senjata Hipersonik & Pencegahannya
Senjata hipersonik mampu bergerak di atas Mach 5 dengan manuver kompleks, memotong drastis waktu reaksi lawan. Negara-negara besar sedang melakukan R&D masif di bidang ini, sehingga sistem pertahanan konvensional sulit menandinginya.
Implikasi bagi Indonesia, kita perlu memperkuat jaringan radar jarak jauh dan sistem sensor multi-layer, serta mengembangkan kerja sama R&D regional untuk deteksi dan pencegahan hipersonik.
Baca Juga: Houthi Sebut Telah Serang Bandara Ben Gurion di Tel Aviv, Israel dengan Rudal Hipersonik
5. Directed Energy Weapons (DEW)
Laser berdaya tinggi dan railgun memungkinkan pertahanan murah per engagement terhadap ancaman seperti drone dan rudal jarak dekat. Biaya per tembakan jauh lebih rendah dibanding rudal pencegat konvensional.
Implikasi bagi Indonesia adalah kita perlu meneliti potensi DEW untuk pertahanan pangkalan militer, kapal perang, dan instalasi vital, juga mengintegrasikan DEW dengan sistem pertahanan udara jarak dekat (close-in weapon systems).
Baca Juga: Direktur PLN Suroso Isnandar Raih Gelar Doktor di ITB, Temukan Integrasi Energi Terbarukan
6. Siber, Electronic Warfare, & Kriptografi Pasca-Kuantum
Perang informasi, sabotase siber, dan jamming komunikasi akan menjadi frontline dalam konflik modern. Dengan munculnya komputer kuantum, enkripsi konvensional dapat terancam, sehingga kriptografi pasca-kuantum menjadi prioritas.
Implikasi bagi Indonesia, kita perlu memperkuat BSSN dan unit cyber command TNI untuk operasi defensif dan ofensif, serta mengadopsi teknologi enkripsi tahan-kuantum untuk komunikasi strategis militer.
Baca Juga: ITB Berkomitmen Bina Mahasiswi FSRD Terkait Kasus Meme yang Penahanannya Ditangguhkan
Kesimpulan
Dalam 10–20 tahun ke depan, tren teknologi pertahanan akan membawa peperangan ke tingkat kecepatan, kompleksitas, dan keterhubungan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bagi Indonesia, antisipasi bukan hanya soal membeli teknologi, tetapi membangun ekosistem R&D pertahanan yang mandiri, memperkuat kerja sama strategis, dan menyiapkan SDM militer-sipil yang menguasai teknologi lintas domain.
Keunggulan masa depan tidak hanya diukur dari jumlah alutsista, tetapi dari kemampuan beradaptasi dan mengintegrasikan teknologi dengan strategi pertahanan nasional.
Baca Juga: Catatan dari Diskusi KSTI di ITB: Mengantisipasi Teknologi Tempur Masa Depan
*Catatan Pemimpin Redaksi Majalah Pertahanan ARMORY REBORN, Satrio Arismunandar, sebagai salah satu panelis pada diskusi di Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia (KSTI) 2025, tema “Sains dan Teknologi untuk Pertumbuhan dan Pemerataan Ekonomi,” 7-9 Agustus 2025, Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) ITB, Bandung. Kontak: 0812-8629-9061. ***