Polri di Antara Profesionalisme dan Tarik-menarik Kepentingan Politik
- Penulis : Abriyanto
- Sabtu, 09 Agustus 2025 05:54 WIB

M. Abriyanto, Hesma Eryani, Budi Sanjaya. Menyelamatkan Reformasi: Polri di Antara Dekret Presiden dan Sidang Istimewa MPR 2001. Bandar Lampung: Pustaka Labrak, 2025. Tebal: xv + 219 hlm.
ORBITINDONESIA.COM - Sidang Istimewa MPR 2001 dan pro-kontra menyangkut Dekret Presiden, yang dikeluarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, sudah 24 tahun berlalu. Itu adalah masa-masa awal pasca gerakan reformasi, gerakan rakyat yang menjatuhkan kekuasaan Presiden Soeharto pada Mei 1998.
Meski sudah lebih dari dua dasawarsa, terbitnya buku ini dirasa penting. Pertama, buku ini merupakan catatan sejarah yang layak dikaji. Sejauh yang saya tahu, belum ada buku lain yang mengulas dinamika politik terkait keluarnya Dekret Presiden Abdurrahman Wahid pada 2001, dari sudut pandang kepolisian.
Baca Juga: Anggota DPR RI Sarifah Ainun Jariyah Minta Polri Usut Tuntas Kasus Kematian Diplomat Kemlu
Kedua, buku ini terbit di saat yang tepat. Isinya masih sangat relevan dengan kondisi institusi Polri saat ini. Pasca reformasi, Polri yang sudah terpisah dari ABRI/TNI, sudah melakukan berbagai langkah agar semakin profesional. Polri ingin independen, mampu menegakkan hukum dan menjaga keamanan, serta menjalankan semua tugas pokok dan fungsinya.
Namun, seperti juga pada 2001, sorotan terhadap kiprah Polri dari kalangan masyarakat saat ini masih cukup keras. Polri pada 2025 tentu tidak sama dengan Polri pada 2021.
Tetapi jangan lupa, masyarakatnya juga berubah. Artinya, meski Polri sudah mereformasi diri, tuntutan dari masyarakat terhadap Polri juga semakin tinggi. Masyarakat ingin polisi yang profesional, bukan jadi alat penguasa atau kepentingan politik tertentu.
Baca Juga: Kapolri Listyo Sigit Prabowo Terima Penghargaan Atas Dedikasi Lindungi Hak Buruh
Dalam sejarahnya memang polisi dulu sering jadi alat kekuasaan. Di bawah penguasa kolonial Belanda dan Jepang, institusi kepolisian jelas menjadi instrumen penguasa.
Ketika akhirnya Indonesia merdeka pada 1945, polisi kemudian digabungkan dalam ABRI karena polisi adalah elemen bangsa yang memegang senjata. Saat itu masih suasana revolusi kemerdekaan, dan semua elemen bersenjata dibutuhkan untuk mempertahankan republik yang baru berdiri.
Namun ini menimbulkan kerancuan, sampai masuk ke era Orde Baru. Jika tentara dilatih menggunakan senjata untuk membunuh dalam fungsi pertahanan dari ancaman luar, tugas polisi adalah keamanan dalam negeri. Meski memegang senjata, polisi sebagai pengayom masyarakat seharus tidak disamakan cara pelatihannya dengan tentara.
Baca Juga: Tiga Anak Anggota Polri Ini Raih Adhi Makayasa 2025
Sesudah jatuhnya Orde Baru lewat gerakan reformasi 1998, institusi kepolisian akhirnya dipisahkan dari ABRI/TNI. Tetapi tidak lantas masalahnya selesai, karena ada berbagai kepentingan politik yang masih ingin memanfaatkan lembaga Polri.
Pada 2001, terjadi pertentangan keras dan hubungan yang buruk antara parlemen dengan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dalam posisi politik yang lemah berhadapan dengan parlemen, Presiden mencoba “memainkan” institusi Polri sebagai pendukung politiknya.
Tetapi karena Kapolri pada waktu itu, Jenderal Surojo Bimantoro, tidak mau Polri ditarik ke sana-sini untuk kepentingan politik, Presiden mengganti Bimantoro dengan Jenderal Chairuddin Ismail.
Baca Juga: Wapres Gibran Apresiasi Senkom Mitra Polri yang Terlibat di Pertanian Hingga Makan Bergizi Gratis
Tetapi cara penggantian ini tidak melalui prosedur yang benar, yakni tanpa melalui konsultasi dan tanpa seizin DPR. Oleh karena itu, Bimantoro menolak mundur. Maka sempat terjadi dualisme kepemimpinan di Polri. Untunglah, Polri secara kelembagaan memiliki sikap tegas yang sama, tidak ingin menjadi alat politik.
Berkat soliditas Polri dan juga TNI pada waktu itu, krisis politik pada 2001 --yang berujung pada pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid oleh Sidang Istimewa MPR RI-- bisa diselesaikan secara damai, tanpa ada setetes darah pun yang tumpah. Padahal bentrokan yang melibatkan massa pnedukung Gus Dur nyaris terjadi waktu itu.
Ini adalah episode yang menarik dan penting dalam sejarah kepolisian RI. Olah karena itu, buku ini patut dijadikan bahan bacaan, pelajaran, dan diskusi di sekolah-sekolah kepolisian, atau kampus-kampus universitas.
Baca Juga: Wapres Gibran Berdampingan dengan Ketua DPR RI Puan Maharani Hadiri Upacara Praspa TNI-Polri 2025
Para anggota polisi muda, yang tidak mengalami situasi dramatis tarik-menarik politik tahun 2001 yang nyaris membelah Polri, perlu belajar banyak tentang penyikapan Polri dari para senior yang kisah dan pengalamannya dimuat buku ini.
*Satrio Arismunandar, yang mengulas buku ini adalah penulis buku dan wartawan senior. Saat ini menjabat Pemimpin Redaksi media online OrbitIndonesia.com dan majalah pertahanan/geopolitik/hubungan internasional ARMORY REBORN.
Ia saat ini menjadi Staf Ahli di Biro Pemberitaan Parlemen, Sekretariat Jenderal DPR RI. Juga, Sekjen Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA (sejak Agustus 2021).
Baca Juga: Evita Nursanty: KBPP Polri Siap Berperan Membangun Bangsa
Ia pernah menjadi jurnalis di Harian Pelita (1986-1988), Harian Kompas (1988-1995), Majalah D&R (1997-2000), Harian Media Indonesia (2000-2001), Executive Producer di Trans TV (2002-2012), dan beberapa media lain.
Mantan aktivis mahasiswa 1980-an ini pernah menjadi salah satu pimpinan DPP SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) di era Orde Baru pada 1990-an. Ia ikut mendirikan dan lalu menjadi Sekjen AJI (Aliansi Jurnalis Independen) 1995-1997.
Ia lulus S1 dari Jurusan Elektro Fakultas Teknik UI (1989), S2 Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional UI (2000), S2 Executive MBA dari Asian Institute of Management (AIM), Filipina (2009), dan S3 Filsafat dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI (2014). Disertasinya tentang perilaku korupsi elite politik di Indonesia dalam perspektif strategi kebudayaan.
Buku yang pernah ditulisnya, antara lain: Perilaku Korupsi Elite Politik di Indonesia: Perspektif Strategi Kebudayaan (2021); Lahirnya Angkatan Puisi Esai (2018); Hari-hari Rawan di Irak (2016); Mereka yang Takluk di Hadapan Korupsi (kumpulan puisi esai, 2015); Bergerak! Peran Pers Mahasiswa dalam Penggulingan Rezim Soeharto (2005); Megawati, Usaha Taklukkan Badai (co-writer, 1999); Di Bawah Langit Jerusalem (1995); Catatan Harian dari Baghdad (1991); Antologi 50 Opini Puisi Esai Indonesia (Antologi bersama, 2018); Kapan Nobel Sastra Mampir ke Indonesia? (2022); Direktori Penulis Indonesia 2023 (2023).
Pernah mengajar sebagai dosen tak tetap di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UI, Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), IISIP, President University, Universitas Bakrie, Sampoerna University, Kwik Kian Gie School of Business, dan lain-lain.
Kontak/WA: 0812 8629 9061. E-mail: sawitriarismunandar@gmail.com ***