DECEMBER 9, 2022
Buku

Polri di Antara Profesionalisme dan Tarik-menarik Kepentingan Politik

image
Buku "Menyelamatkan Reformasi: Polri di Antara Dekret Presiden dan Sidang Istimewa MPR 2001" karya M. Abriyanto dkk (Foto: satrio)

MAbriyanto, Hesma Eryani, Budi Sanjaya. Menyelamatkan Reformasi: Polri di Antara Dekret Presiden dan Sidang Istimewa MPR 2001. Bandar Lampung: Pustaka Labrak, 2025. Tebal: xv + 219 hlm.

ORBITINDONESIA.COM - Sidang Istimewa MPR 2001 dan pro-kontra menyangkut Dekret Presiden, yang dikeluarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, sudah 24 tahun berlalu. Itu adalah masa-masa awal pasca gerakan reformasi, gerakan rakyat yang menjatuhkan kekuasaan Presiden Soeharto pada Mei 1998.

Meski sudah lebih dari dua dasawarsa, terbitnya buku ini dirasa penting. Pertama, buku ini merupakan catatan sejarah yang layak dikaji. Sejauh yang saya tahu, belum ada buku lain yang mengulas dinamika politik terkait keluarnya Dekret Presiden Abdurrahman Wahid pada 2001, dari sudut pandang kepolisian.

Baca Juga: Anggota DPR RI Sarifah Ainun Jariyah Minta Polri Usut Tuntas Kasus Kematian Diplomat Kemlu

Kedua, buku ini terbit di saat yang tepat. Isinya masih sangat relevan dengan kondisi institusi Polri saat ini. Pasca reformasi, Polri yang sudah terpisah dari ABRI/TNI, sudah melakukan berbagai langkah agar semakin profesional. Polri ingin independen, mampu menegakkan hukum dan menjaga keamanan, serta menjalankan semua tugas pokok dan fungsinya.

Namun, seperti juga pada 2001, sorotan terhadap kiprah Polri dari kalangan masyarakat saat ini masih cukup keras. Polri pada 2025 tentu tidak sama dengan Polri pada 2021.

Tetapi jangan lupa, masyarakatnya juga berubah. Artinya, meski Polri sudah mereformasi diri, tuntutan dari masyarakat terhadap Polri juga semakin tinggi. Masyarakat ingin polisi yang profesional, bukan jadi alat penguasa atau kepentingan politik tertentu.

Baca Juga: Kapolri Listyo Sigit Prabowo Terima Penghargaan Atas Dedikasi Lindungi Hak Buruh

Dalam sejarahnya memang polisi dulu sering jadi alat kekuasaan. Di bawah penguasa kolonial Belanda dan Jepang, institusi kepolisian jelas menjadi instrumen penguasa.

Ketika akhirnya Indonesia merdeka pada 1945, polisi kemudian digabungkan dalam ABRI karena polisi adalah elemen bangsa yang memegang senjata. Saat itu masih suasana revolusi kemerdekaan, dan semua elemen bersenjata dibutuhkan untuk mempertahankan republik yang baru berdiri.

Namun ini menimbulkan kerancuan, sampai masuk ke era Orde Baru. Jika tentara dilatih menggunakan senjata untuk membunuh dalam fungsi pertahanan dari ancaman luar, tugas polisi adalah keamanan dalam negeri. Meski memegang senjata, polisi sebagai pengayom masyarakat seharus tidak disamakan cara pelatihannya dengan tentara.

Baca Juga: Tiga Anak Anggota Polri Ini Raih Adhi Makayasa 2025

Sesudah jatuhnya Orde Baru lewat gerakan reformasi 1998, institusi kepolisian akhirnya dipisahkan dari ABRI/TNI. Tetapi tidak lantas masalahnya selesai, karena ada berbagai kepentingan politik yang masih ingin memanfaatkan lembaga Polri.

Halaman:

Berita Terkait