DECEMBER 9, 2022
People & Lifestyle

Elita Triandayani, Perempuan di Balik Layar yang Membuat Segalanya Mungkin

image
Foto Elita Triandayani

ORBITINDONESIA.COM - Di balik suksesnya sebuah konferensi, tersalurkannya bantuan kemanusiaan, atau lancarnya pelatihan anak muda, ada satu hal yang sering luput disebut: logistik. 

Dan di sanalah Elita Triandayani (Eta), perempuan kelahiran Jakarta, yang kini tinggal di Kemayoran, Jakarta Pusat, memilih berdiri—tepat di balik layar. Tidak untuk disorot, tapi untuk memastikan semua kegiatan berjalan dengan baik.

Sudah lebih dari satu dekade Eta menggeluti dunia logistik, baik sebagai pekerja profesional di kantor maupun relawan sosial di berbagai komunitas. 

Baca Juga: Setelah Diresmikan Presiden Jokowi, Papua Youth Creative Hub Langsung Buka Kafe dan Kuliner

Ia tidak memiliki latar belakang pendidikan khusus di bidang logistik. Tidak pernah pula mengikuti pelatihan elite atau didampingi mentor ternama. Tapi dari kesalahan-kesalahan kecil, dari praktik harian, dari kepekaan dan ketekunan, Eta membangun sendiri kompetensinya.

Sejak berusia 19 tahun, Eta sudah menjadi yatim-piatu. Tumbuh di bawah asuhan kakak dan tentenya, dan dalam kondisi ekonomi pas-pasan, membuat Eta menjadi perempuan yang tekun dan pekerja keras.

“Logistik sering kali dianggap pekerjaan teknis yang kurang penting. Tapi saya percaya, tanpa logistik, acara tak akan berjalan. Bantuan tak akan sampai. Dan misi kemanusiaan tidak akan selesai,” ujarnya dengan tegas.

Baca Juga: Kemkomdigi Imbau Perusahaan Media "Upskilling" Karyawan Selama Transformasi Digital, Alih-alih PHK

Ia tahu betul bagaimana rasanya menjadi ‘orang di balik layar’. Tidak disebut dalam laporan. Tidak diundang ke panggung. Tapi ia tak pernah meminta pengakuan. Justru dari ruang yang sepi itulah ia belajar melihat secara utuh.

“Saya menolak terjebak dalam fixed mindset. Justru karena bidang ini tak banyak diminati, saya melihatnya sebagai ruang belajar yang luas.”

Satu tonggak penting dalam perjalanannya adalah ketika ia mengikuti sertifikasi MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) dari Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif DKI Jakarta. 

Baca Juga: Bryan Akthur Alexander, Membawa Suara Kritis Anak Muda ke Tiktok Youth Council

Eta satu-satunya peserta dari NGO, perempuan, dan mengambil konsentrasi logistik yang didominasi peserta laki-laki.

“Sertifikasi itu bukan untuk naik pangkat. Saya hanya ingin tahu, apakah saya benar-benar kompeten dalam hal yang saya kerjakan tiap hari?” katanya.

Logistik baginya bukan sekadar memindahkan barang dari titik A ke B. Tapi sebuah seni: menyusun alur kerja, menyelesaikan masalah, dan mengambil keputusan cepat di situasi tak terduga.

Tak hanya di kantor, di  salah satu Yayasan sosial bernama Generasi Literat, Eta dipercaya menjadi Manajer Program. Namun jabatannya tidak membuatnya berhenti turun ke lapangan. Ia tetap mengurus logistik—menyiapkan banner, mendata konsumsi, bahkan mengecek kabel sound system.

Bukan karena tak ada orang lain, tapi karena ia percaya kerja kemanusiaan juga harus profesional.

“Saya tidak ingin hanya jadi relawan dengan niat baik. Tapi jadi relawan yang konsisten, penuh tanggung jawab, dan punya standar kerja. Karena bagi saya, profesionalisme tidak berhenti saat jam kantor usai.”

Kisah Eta adalah pengingat bahwa inspirasi dan pelajaran penting tidak selalu datang dari panggung yang terang dan megah.

Ia tumbuh dari lorong logistik yang sempit, dari berkas-berkas yang tertata. Dan lebih dari segalanya, dari hati yang tidak pernah letih memberi.

Sebab sejatinya, dunia ini tidak hanya bergerak oleh mereka yang tampil di depan. Tapi juga oleh mereka yang, seperti Eta, memilih diam di balik layar, bekerja dengan sepenuh hati, dan memastikan semuanya berjalan sebagaimana mestinya, tanpa perlu tepuk tangan. *** (AL)

Halaman:

Berita Terkait