"Filosofi Teras", Henry Manampiring: Menemukan Kendali Diri di Tengah Dunia yang Bising
- Penulis : Khoirotun Nisak
- Sabtu, 21 Juni 2025 15:02 WIB
.jpg)
ORBITINDONESIA.COM - Di era digital yang penuh distraksi, tekanan sosial, dan overthinking akut, banyak orang—terutama generasi muda—tenggelam dalam kecemasan yang tak berujung.
Filosofi Teras karya Henry Manampiring hadir sebagai oase yang menenangkan, menawarkan jalan keluar bukan lewat motivasi kosong, melainkan melalui filsafat kuno yang justru terasa sangat relevan hari ini: Stoisisme.
Menariknya, buku ini lahir dari pengalaman pribadi sang penulis saat menghadapi gangguan kecemasan (anxiety disorder). Alih-alih menyerah, Henry mencari pijakan hidup dan menemukan Stoisisme—filsafat Yunani kuno yang dia temukan bukan di bangku akademis, tetapi dalam pencarian batin yang sangat manusiawi.
Baca Juga: Buku Dane E. King Menggali Hubungan Unik Iman, Spiritualitas, dan Pengobatan
Dari situ, ia mencoba menyederhanakan ajaran para filsuf besar seperti Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius agar dapat dicerna oleh siapa pun, terutama pembaca awam.
Inti dari buku ini adalah konsep Dikotomi Kendali, yaitu membedakan antara hal-hal yang berada dalam kendali kita (pikiran, sikap, tindakan), dan yang di luar kendali kita (opini orang lain, masa lalu, cuaca, takdir).
Ini bukan ajakan untuk pasrah, tapi sebuah kesadaran untuk menempatkan energi pada apa yang bisa diubah, bukan pada hal-hal yang membuat kita frustrasi.
Baca Juga: Buku Alan Watts: The Way of Zen, Menyelami Kedalaman Spiritualitas Zen
Henry menyampaikan pesan itu dengan gaya bertutur yang ringan, jenaka, dan relatable. Ia mengaitkan Stoisisme dengan masalah sehari-hari: kegagalan cinta, tekanan media sosial, rasa insecure melihat pencapaian orang lain, hingga kebutuhan untuk terlihat “bahagia” di mata publik.
Di sinilah kekuatan buku ini: mengubah filsafat yang terkesan rumit menjadi sangat membumi dan membebaskan.
Salah satu bagian yang paling kuat adalah ketika Henry mengajak kita merenungkan: banyak penderitaan berasal dari pikiran kita sendiri, bukan dari kenyataan. Kita terlalu sering reaktif, terlalu cepat tersinggung, terlalu takut akan hal yang belum terjadi.
Dengan mempraktikkan prinsip Stoik, kita belajar mengatur respons emosional, bukan sekadar mengendalikan situasi. Dan dalam dunia yang serba tidak pasti seperti sekarang, kemampuan ini sangatlah penting.
Buku ini juga memperkenalkan “praktik harian” Stoik seperti journaling (menulis refleksi), membaca kutipan Stoik, dan evaluasi diri.
Henry menekankan bahwa Stoisisme bukan sekadar teori, tapi gaya hidup yang bisa dipraktikkan agar hidup lebih tenang, tangguh, dan bermakna.
Dari sisi kelemahan, sebagian pembaca mungkin merasa buku ini kurang mendalam secara akademis, karena Henry lebih fokus pada pengalaman dan interpretasi praktis. Namun justru di situlah letak keberhasilannya: membuat Stoisisme masuk ke ruang-ruang batin orang awam yang selama ini merasa filsafat terlalu jauh dan elitis.
Dalam konteks Gen Z dan milenial, Filosofi Teras sangat relevan karena mengajak kita berhenti mengejar validasi eksternal dan mulai membangun ketenangan dari dalam. Ini bukan soal menjadi “positif” terus-menerus, tapi tentang menjadi berdaya—tahu kapan harus melepaskan, dan kapan harus bertahan.
Filosofi Teras bukan sekadar buku filsafat, tapi panduan hidup yang jujur. Ia tidak menawarkan hidup yang bebas masalah, tapi menawarkan cara menghadapi masalah dengan kepala dingin dan hati yang kokoh.
Sebuah buku yang pantas dibaca ulang, terutama saat hidup terasa bising, dan kita butuh ruang hening untuk kembali menemukan diri sendiri.***