DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Swasembada Makanan Murah dan Sehat

image
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Amir Uskara,

Oleh: Dr. H.M. Amir Uskara, Anggota DPR RI/ Ketua Fraksi PPP

ORBITINDONESIA - Dokter Hendrawan Nadesul, kolumnis kesehatan, dalam rubrik Surat Pembaca Kompas, 27 Juni 2022, mempertanyakan "Kenapa Jawa Timur mengekspor ubi jalar ke luar negeri? Hendrawan menulis: Berita "Jatim Bidik Jepang dan Romania untuk Ekspor Ubi Jalar" membuat kita bertanya, mengapa ubi jalar bukan buat kebutuhan dalam negeri saja?

Lanjut dokter "spesialis umum" ini -- sudah lama ubi jalar menjadi bagian dari diversifikasi makanan pokok di Jepang. Penduduk Okinawa — pulau kecil selatan Jepang — yang centenarian (karena umurnya mencapai seratus tahun), 70 persen mengonsumsi karbohidrat dari ubi jalar. Di mata medis, ubi jalar menyehatkan.

Ubi jalar selalu tersedia di restoran Jepang karena tiga keunggulan: tinggi serat sehingga kenyangnya lama (cocok bagi yang berdiet), kaya vitamin A dan C, mineral tembaga, dan kalium, serta mengandung hormon awet muda DHE (dehydroepiandrosterone).

Baca Juga: Jadilah Manusia Rentang Bebas, Ciptakan Kehidupan yang Anda Cintai, dan Tetap Bayar Tagihannya

Satu saja kelemahan ubi, bikin banyak buang gas. Waspada saja setiap habis makan ubi jalar, jangan berdiri dekat pacar atau ibu mertua.

Dulu ketika susah beras, tulisnya, Pak Harto menyerukan diversifikasi pangan, lalu memilih bulgur. Sekarang ketahanan pangan dunia terancam tak mencukupi.

Dari pada mengandalkan beras, kenapa kita tidak memilih ubi jalar sebagai pengisi piring di meja makan. Kalau selebar lahan di Jember saja bisa mengekspor ubi jalar, lahan tidur Nusantara yang masih berjuta hektar bisa dimanfaatkan untuk ”food estate” ubi jalar.

Belum lama ini, tambah Hendrawan, Pak Jokowi membangun food estate hortikultura di lebih dari 61.000 hektar lahan di empat kabupaten di Provinsi Sumatera Utara. Saran kepada Kementerian Pertanian agar memulai gerakan menanam ubi jalar sebelum kita kekurangan pangan.

Baca Juga: Di China Ada Pasar Jodoh, Orangtua Berkumpul Mencarikan Jodoh untuk Anak Mereka

Ketimbang beras, ubi jalar lebih cepat dipanen, mudah ditanam, minim hama, meniadakan ketergantungan pada beras sehingga mengurangi beban impor beras.

Tulisan Hendrawan di atas, kembali mengingatkan bangsa Indonesia yang bahan makanan pokok utamanya adalah nasi.

Jika kita terus mengandalkan nasi sebagai makanan pokok (staple food), maka swasembada pangan sulit tercapai. Ini karena tanaman padi termasuk jenis vegetasi yg butuh perlakuan istimewa (air yang banyak, irigasi, pupuk, pestisida, dan lain-lain) untuk bisa tumbuh berkembang dan hasil panennya tinggi.

Para ahli pertanian menyebut, ongkos pemeliharaan padi sangat besar sehingga keuntungan petani minim.

Baca Juga: Percaya Kepada Koperasi

Ini beda dengan ubi jalar. Biaya pemeliharaan ubi jalar relatif murah. Dan hasilnya sangat banyak. Dalam sekali panen, 6 bulan setelah tanam, satu hektar bisa mencapai 40 ton ubi jalar. Dengan harga di tingkat petani 3 ribu per kg, tiap 6 bulan petani mendapat uang Rp 120 juta.

Minus biaya pemeliharaan dan pekerja tani, antara 30 - 40 juta per hektar, petani mendapat keuntungan 80 -- 90 juta dalam 6 bulan. Keuntungan tersebut jauh di atas petani padi yang profitnya sekali panen berkisar 4-5 juta perhektar. Contoh kalkulasi di atas, berdasarkan perhitungan petani ubi jalar di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Di Indonesia, makanan berkarbo untuk substitusi beras, jumlahnya banyak sekali, lebih dari 70 macam. Seperti berbagai jenis ubi, singkong, gembili, garut, ganyong, talas, sukun, porang, dan macam-macam.

Tanah yang subur dengan dua iklim, hujan dan kemarau, bisa untuk menumbuhkan hampir semua jenis tanaman tersebut di atas dengan baik.

Baca Juga: Prof. Zainun Kamal: Soal Nikah Beda Agama, Ada Beda Pengertian tentang Musyrik, Ahlul Kitab, dan Kafir

Saat ini, dunia sedang dilanda krisis pangan. Kunjungan Presiden Joko Widodo ke Ukraina dan Rusia (29-30/6/2022) yang sedang berperang itu, tujuannya selain membawa misi perdamaian, juga misi pangan.

Sebab akibat perang tersebut, dunia mengalami kelangkaan tepung gandum atau terigu yang menjadi bahan makanan di banyak negara terutama di Eropa, Amerika, dan Australia.

Rusia dan Ukraina adalah lumbung pangan terbesar dunia. Sekitar 28 persen kebutuhan gandum dunia berasal dari dua negara yang sedang berperang tersebut.

Menurut catatan PBB, saat ini, sekitar 220 juta ton terigu di Ukraina dan Rusia, sulit diekspor ke luar negeri karena terkendala perang. Akibatnya, sekitar 1,2 milyar penduduk dunia yang bahan makanan pokoknya terigu, terancam kelaparan.

Baca Juga: Piala Presiden, Borneo FC: Masih Ada Peluang

Situasi ini sangat membahayakan. Apalagi saat ini banyak negara yang ekonominya menyusut, bahkan bangkrut, akibat pandemi Covid-19.

Melihat harga terigu yang saat ini sudah naik 30 persen, ditambah inflasi tinggi di beberapa negara seperti Turki, Sri Lanka, dan Yunani, maka harga kebutuhan makanan pokok makin mahal. Tak terjangkau sebagian besar rakyat miskin di berbagai pelosok dunia.

Apa yang akan terjadi nanti? Kekacauan dunia makin tinggi. Sri Lanka, misalnya, Sabtu (9/7/ 2022) presidennya kabur. Istana Presiden Gotabaya Rajapaksa digrebeg puluhan ribu massa yang kelaparan.

Itu terjadi karena kelangkaan pangan dan energi di Sri Lanka. Negeri ini akibat deraan Covid-18 dan perang Rusia-Ukrainan ekonominya bangkrut. Karena pariwisata yang menjadi andalan pengepul devisa selama pandemi, sepi.

Baca Juga: Mengapa Saling Bunuh di Maluku?

Begitu pula Turki yang kini inflasinya mencapai 70 persen lebih. Rakyat Turki banyak yang tak sanggup beli makanan pokok. Akibatnya Turki mulai terguncang.

Kenapa semua itu terjadi? Karena masyarakat dunia, tak terkecuali Indonesia, kurang mendiversifikasi makanan pokoknya.

Solusinya, untuk mencegah kelaparan dan mahalnya harga makanan pokok, diversifikasi staple food untuk tiap negara adalah niscaya. Jangan tergantung pada satu bahan makanan pokok terigu atau beras saja.

Banyak makanan lokal yang bisa menjadi sumber energi alternatif dan bagus, baik dari aspek gizi maupun medis. Jika hal itu dilakukan, niscaya kelaparan di dunia akan sirna. Penduduk bumi pun akan swasembada pangan. Insya Allah! ***

Berita Terkait