DECEMBER 9, 2022
Buku

Buku There's Always This Year: On Basketball and Ascension - Doa dari Lapangan Beton dan Ingatan yang Tak Luruh

image
https://images-na.ssl-images-amazon.com/images/S/compressed.photo.goodreads.com/books/1691597828i/181346634.jpg

ORBITINDONESIA.COM - Hanif Abdurraqib Pemenang National Book Critics Circle Award 2024, Autobiography.

Di dunia yang berubah terlalu cepat, ada ruang-ruang yang menolak dilupakan. Lapangan basket komunitas, bangku taman tempat ayah bercerita, atau musim NBA yang tak pernah sepenuhnya tentang menang atau kalah—itulah lanskap batin There’s Always This Year.

Buku ini bukan sekadar memoar. Ia adalah peta emosional dari lelaki kulit hitam yang tumbuh di Ohio, menjadikan basket bukan hanya olahraga, tapi tempat ia menyimpan luka dan impian yang tak kunjung padam.

Baca Juga: BRICS dan Ramalan Politik Luar Negeri Soekarno

Hanif Abdurraqib menulis seperti seseorang yang tahu bahwa setiap kata adalah ritus peringatan. Dalam buku ini, ia bukan hanya penulis, tapi peziarah.

Ia kembali ke masa kecilnya dengan tangan gemetar dan mata tajam, mengumpulkan serpihan-serpihan waktu yang tercerai: ayah yang jarang bicara tapi hadir dalam diam, teman-teman yang hilang satu per satu oleh sistem yang tak pernah adil, dan bola basket yang memantul bukan hanya di aspal, tapi juga di rongga dada.

“There’s Always This Year.” Kalimat yang diulang setiap musim baru dimulai. Tapi lebih dari sekadar penghiburan bagi fans tim yang gagal juara, ini adalah mantra bagi komunitas yang hidup dari kemungkinan, bukan kepastian.

Baca Juga: The Demon of Unrest: Elegi Sunyi untuk Bangsa yang Menolak Berdamai dengan Bayangannya Sendiri

Bagi Abdurraqib, ini bukan hanya tentang Cleveland Cavaliers. Ini tentang harapan kolektif, tentang bagaimana komunitas kulit hitam di Midwest membangun ketahanan emosional dari reruntuhan kekecewaan yang diwariskan.

Basket, dalam narasi Abdurraqib, adalah bahasa. Ia bukan soal statistik, melainkan soal kehilangan, cinta, dan waktu. Ia menulis tentang LeBron James bukan sebagai ikon, tapi sebagai mitos yang lahir dari tanah yang sama dengannya.

Seorang anak Ohio lain yang bisa melompat lebih tinggi dari nasibnya. Tapi Abdurraqib tak jatuh pada pujian kosong. Ia tahu, bahkan dalam keberhasilan, ada beban. Dan buku ini dengan lembut menguliti bagaimana harapan kolektif bisa membebani seorang individu hingga tak bisa lagi bernapas tanpa tekanan.

Baca Juga: Buku Karen Armstrong, The Lost Art of Scripturalism

Kita merasa seperti sedang duduk bersamanya di malam-malam yang hening, menyimak ulang pertandingan lama, atau mengenang wajah-wajah yang tak lagi ada. Abdurraqib menulis dengan ritme puisi dan napas panjang sejarah.

Ia menyelipkan cerita tentang Malcolm X, Marvin Gaye, Trayvon Martin, dan segala sesuatu yang menari di antara garis tiga poin dan sejarah panjang perbudakan. Setiap bab seperti babak dalam konser jazz yang pelan-pelan menuju klimaks kesedihan—indah, namun getir.

Yang membedakan buku ini dari memoar biasa adalah kemampuannya melampaui “aku”. There’s Always This Year bukan tentang Hanif saja. Ini tentang semua anak lelaki kulit hitam yang belajar memeluk tubuh mereka sendiri ketika dunia tak memberinya pelukan.

Baca Juga: Buku Candy Darling: Dreamer, Icon, Superstar - Memoar dari Cahaya Panggung yang Tak Pernah Padam

Tentang ibu-ibu yang mengajarkan keberanian lewat telepon larut malam. Tentang kota-kota kecil yang dilupakan sejarah, tapi tetap menyimpan nama-nama dalam graffiti dan jersey robek.

Buku ini adalah biografi kolektif tentang hidup di bawah bayang-bayang, tentang bagaimana cinta bisa lahir dari kehancuran, dan bagaimana lapangan basket bisa menjadi altar tempat anak-anak belajar berdoa—bukan kepada Tuhan, tapi kepada kemungkinan bahwa hidup bisa sedikit lebih adil. Bahwa musim depan akan lebih baik. Bahwa luka ini, seberat apa pun, bisa berubah menjadi sayap.

Hanif Abdurraqib menulis seperti seseorang yang tahu bahwa menulis adalah pekerjaan berkabung yang panjang. Ia tak hanya mengenang orang-orang yang telah tiada, tapi juga versi dirinya yang telah ia tinggalkan.

Ia mengenang dirinya yang masih percaya bahwa dunia akan mendengarkan. Ia mengenang dirinya yang duduk di tepi lapangan, melihat bola memantul ke arah langit, dan bertanya-tanya apakah harapan bisa memantul seperti itu juga.

Buku ini juga sangat sadar waktu. Ia menyadari bahwa sejarah kulit hitam di Amerika adalah sejarah yang ditulis di luar jam kerja, di luar sorotan. Ia tahu bahwa tubuh lelaki kulit hitam tak hanya bermain, tapi juga dilihat—diukur, dijual, dikomentari, dan kadang-kadang dihabisi.

Ia menulis dengan kesadaran bahwa tubuhnya sendiri adalah dokumen. Dan menulis memoar adalah cara untuk mengarsipkan bukan hanya hidupnya, tapi juga luka-luka yang tak tercatat di berita utama.

“There’s always this year.” Kadang kalimat itu diucapkan dengan tawa. Kadang dengan tangis. Kadang dengan senyap penuh harap. Dan dalam buku ini, frasa itu menjadi semacam doa politik: bahwa tak ada kekalahan yang final, dan tak ada kemenangan yang benar-benar milik sendiri.

Dalam dunia yang semakin kehilangan makna kolektivitas, Abdurraqib justru mengangkatnya sebagai inti dari harapan. Ia tahu, tak semua orang bisa menang. Tapi semua orang bisa mencintai. Dan cinta, betapapun retaknya, masih bisa menyelamatkan sebagian dari kita.

Buku ini menantang pembaca untuk berpikir ulang tentang kemenangan. Tentang siapa yang berhak mendapatkannya. Tentang siapa yang bersorak dari kursi belakang. Tentang siapa yang diam-diam keluar dari stadion, membawa harapan yang belum sempat ia bagikan.

Di akhir buku, Abdurraqib tidak memberi kesimpulan. Ia tahu bahwa hidup tidak selesai begitu saja. Ia tahu bahwa musim tidak berhenti ketika peluit ditiup. Ia hanya mengajak kita untuk duduk sebentar, mendengarkan. Dan mungkin, untuk mengulang mantra itu sekali lagi:

“There’s always this year.”

Bukan sebagai janji kosong. Tapi sebagai pelita kecil dalam dunia yang kadang terlalu gelap untuk ditinggali.***

Halaman:

Berita Terkait