Buku There's Always This Year: On Basketball and Ascension - Doa dari Lapangan Beton dan Ingatan yang Tak Luruh
- Penulis : Irsyad Mohammad
- Kamis, 19 Juni 2025 15:04 WIB

Ia menyelipkan cerita tentang Malcolm X, Marvin Gaye, Trayvon Martin, dan segala sesuatu yang menari di antara garis tiga poin dan sejarah panjang perbudakan. Setiap bab seperti babak dalam konser jazz yang pelan-pelan menuju klimaks kesedihan—indah, namun getir.
Yang membedakan buku ini dari memoar biasa adalah kemampuannya melampaui “aku”. There’s Always This Year bukan tentang Hanif saja. Ini tentang semua anak lelaki kulit hitam yang belajar memeluk tubuh mereka sendiri ketika dunia tak memberinya pelukan.
Tentang ibu-ibu yang mengajarkan keberanian lewat telepon larut malam. Tentang kota-kota kecil yang dilupakan sejarah, tapi tetap menyimpan nama-nama dalam graffiti dan jersey robek.
Baca Juga: BRICS dan Ramalan Politik Luar Negeri Soekarno
Buku ini adalah biografi kolektif tentang hidup di bawah bayang-bayang, tentang bagaimana cinta bisa lahir dari kehancuran, dan bagaimana lapangan basket bisa menjadi altar tempat anak-anak belajar berdoa—bukan kepada Tuhan, tapi kepada kemungkinan bahwa hidup bisa sedikit lebih adil. Bahwa musim depan akan lebih baik. Bahwa luka ini, seberat apa pun, bisa berubah menjadi sayap.
Hanif Abdurraqib menulis seperti seseorang yang tahu bahwa menulis adalah pekerjaan berkabung yang panjang. Ia tak hanya mengenang orang-orang yang telah tiada, tapi juga versi dirinya yang telah ia tinggalkan.
Ia mengenang dirinya yang masih percaya bahwa dunia akan mendengarkan. Ia mengenang dirinya yang duduk di tepi lapangan, melihat bola memantul ke arah langit, dan bertanya-tanya apakah harapan bisa memantul seperti itu juga.
Baca Juga: The Demon of Unrest: Elegi Sunyi untuk Bangsa yang Menolak Berdamai dengan Bayangannya Sendiri
Buku ini juga sangat sadar waktu. Ia menyadari bahwa sejarah kulit hitam di Amerika adalah sejarah yang ditulis di luar jam kerja, di luar sorotan. Ia tahu bahwa tubuh lelaki kulit hitam tak hanya bermain, tapi juga dilihat—diukur, dijual, dikomentari, dan kadang-kadang dihabisi.
Ia menulis dengan kesadaran bahwa tubuhnya sendiri adalah dokumen. Dan menulis memoar adalah cara untuk mengarsipkan bukan hanya hidupnya, tapi juga luka-luka yang tak tercatat di berita utama.
“There’s always this year.” Kadang kalimat itu diucapkan dengan tawa. Kadang dengan tangis. Kadang dengan senyap penuh harap. Dan dalam buku ini, frasa itu menjadi semacam doa politik: bahwa tak ada kekalahan yang final, dan tak ada kemenangan yang benar-benar milik sendiri.
Baca Juga: Buku Karen Armstrong, The Lost Art of Scripturalism
Dalam dunia yang semakin kehilangan makna kolektivitas, Abdurraqib justru mengangkatnya sebagai inti dari harapan. Ia tahu, tak semua orang bisa menang. Tapi semua orang bisa mencintai. Dan cinta, betapapun retaknya, masih bisa menyelamatkan sebagian dari kita.