DECEMBER 9, 2022
ORBITINDONESIA

Buku Soldiers and Kings: Doa Laten di Tapal Batas Kemanusiaan yang Terkoyak

image
Sumber Gambar: https://npr.brightspotcdn.com/f5/c8/d97073d1422abaf68b97adea6b2c/source-book.jpg

ORBITINDONESIA.COM - Resensi naratif kritis atas buku Jason De León, Soldiers and Kings: Survival and Hope in the World of Human Smuggling, 2024

Ada buku yang mencoba menjelaskan. Ada pula buku yang membuat kita terdiam karena menyadari bahwa tak semua hal harus dijelaskan—sebagian harus dirasakan. Buku Soldiers and Kings karya Jason De León termasuk yang terakhir: ia tidak menjelaskan penderitaan manusia, ia melemparkannya ke hadapan kita seperti mayat yang ditemukan membusuk di tengah gurun Sonora—senyap, telanjang, dan menantang dunia untuk peduli.

De León bukan penulis biasa. Ia seorang antropolog forensik, seorang penyaksi akademik yang mendekat pada batas-batas hidup dan mati dengan keberanian seorang pendosa yang tahu bahwa penebusan tidak datang dari pengetahuan, melainkan dari keterlibatan. Di bukunya ini, ia menyelami dunia perdagangan manusia—bukan sebagai jaringan kriminal belaka, tetapi sebagai lanskap eksistensial dari harapan dan keputusasaan manusia modern.

Dengan gaya bercerita yang seperti puing-puing surat cinta dari perbatasan, Soldiers and Kings membawa kita masuk ke dalam dunia para "coyote"—penyelundup manusia yang hidup di antara garis hukum dan keniscayaan moral. Mereka bukan hanya penjahat. Mereka bukan pahlawan. Mereka adalah makhluk antara, yang hidup dalam ruang abu-abu hukum dan kemanusiaan. Mereka menukar risiko dengan harga, dan harga itu seringkali adalah nyawa orang lain.

Baca Juga: BRICS dan Ramalan Politik Luar Negeri Soekarno

De León memperkenalkan kepada kita tokoh-tokoh yang nyata, namun terasa seperti tokoh dalam tragedi Yunani. Ada para migran yang berjalan di bawah terik matahari selama berhari-hari, yang menelan botol air terakhir seperti sakramen terakhir sebelum ajal. Ada penyelundup yang kehilangan istri dan anak karena persaingan kartel, tapi tetap menyelundup karena "di dunia ini tidak ada pekerjaan yang suci." Ada juga para penjaga perbatasan yang menangis diam-diam ketika menemukan tubuh anak kecil yang tergeletak dalam pelukan ibunya, membatu bersama waktu.

Buku ini bukan bacaan ringan. Ia seperti cermin yang dilempar ke wajah kita—pecahannya tajam dan reflektif. Soldiers and Kings memaksa kita mempertanyakan banyak hal: Apa arti hukum ketika hukum tidak menyelamatkan manusia? Apa arti negara ketika perbatasan hanya membagi penderitaan, bukan menguranginya? Apa arti keluarga, cinta, dan pengorbanan dalam dunia yang menempatkan nilai manusia pada biaya perjalanannya?

Lebih dari sekadar pelaporan lapangan, De León menulis dengan intensitas emosional seorang penyintas. Ia tidak menjaga jarak akademik. Ia terlibat. Ia berdiri di tengah panas gurun, menggali tulang-belulang migran yang tak dikenal, dan bertanya—dalam diam, kepada kita semua—apakah dunia ini layak disebut sebagai peradaban jika kita membiarkan mereka mati seperti binatang.

Baca Juga: Bukan Otomatisasi, Kolaborasi AI-Manusia Jadi Inti dari Logistik Masa Depan

Narasinya digerakkan oleh data, tapi diikat oleh empati. Ia menulis seperti seorang novelis, tapi berpikir seperti seorang filsuf. Kalimat-kalimatnya seringkali membawa kita ke batas antara jurnalistik dan literatur, antara laporan dan liturgi. Ia tidak hanya menceritakan kisah, ia menanamkan rasa bersalah yang lembut tapi membekas, seperti peluru yang tidak menghancurkan, tapi terus tinggal di dalam tubuh.

Buku ini juga mengangkat ironi besar dunia modern: bahwa globalisasi membuka batas-batas barang dan modal, tapi menutup rapat-rapat pintu bagi manusia yang ingin mencari hidup yang layak. Para migran bukan kriminal. Mereka bukan gelandangan. Mereka adalah pekerja masa depan yang ditolak oleh logika pasar yang katanya rasional. Mereka adalah korban dari sistem yang menganggap kemiskinan sebagai kesalahan moral, bukan hasil dari struktur ketidakadilan.

De León tidak menulis untuk menggurui. Ia menulis untuk bersaksi. Dan kesaksiannya adalah nyanyian lirih dari dunia bawah tanah yang tidak ingin dikenang, tapi terus menuntut pengakuan. Buku ini adalah catatan sejarah dari zaman yang pura-pura buta: zaman ketika mayat-mayat di gurun dianggap statistik, ketika air mata para ibu di perbatasan dianggap kelemahan, dan ketika para "raja" dan "prajurit" dalam dunia penyelundupan lebih manusiawi daripada pejabat yang bersidang atas nama hukum.

Baca Juga: Orasi Denny JA: Dari Gedung Bersejarah Menjadi Diplomasi Kuliner

Ketika kita menutup halaman terakhir Soldiers and Kings, kita tidak selesai. Kita justru memulai sebuah perenungan yang pahit: apakah dunia kita akan terus dibangun di atas penderitaan yang disangkal? Apakah kita hanya akan mengagumi cerita para penyintas, tapi tidak mengubah struktur yang memaksa mereka untuk bertahan sedemikian rupa?

Halaman:

Berita Terkait