Buku Candy Darling: Dreamer, Icon, Superstar - Memoar dari Cahaya Panggung yang Tak Pernah Padam
- Penulis : Irsyad Mohammad
- Kamis, 19 Juni 2025 14:59 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Resensi naratif atas buku Cynthia Carr (2024). Pemenang National Book Critics Circle Award – Biography
Ada nama-nama yang tak hanya tercatat di lembar sejarah, tapi juga di ingatan kolektif sebagai gema. Mereka hidup dalam pantulan kaca rias, dalam sorot lampu yang tak pernah padam, dalam puing-puing poster film lama, dan dalam setiap napas mereka yang bermimpi menjadi sesuatu yang dunia tolak.
Candy Darling adalah satu dari sedikit yang demikian. Dan Cynthia Carr, dalam Candy Darling: Dreamer, Icon, Superstar, tak hanya menulis ulang hidup Candy—ia menghidupkannya kembali.
Baca Juga: Buku Malcolm Gladwell, Outliers: The Story of Success, Kesuksesan Bukan Sekadar Soal Kerja Keras
Candy bukan hanya seorang ikon. Ia adalah ledakan cahaya di era yang belum siap menerima keindahan dalam bentuk yang tidak bisa didefinisikan oleh norma. Lahir sebagai James Slattery di Long Island, dan kemudian menjelma menjadi Candy di tengah semesta seni Warhol yang liar dan magis, Candy berjalan di garis tipis antara impian dan kehancuran, antara keberanian dan kerinduan yang sunyi. Ia bukan hanya seorang trans perempuan yang ingin menjadi bintang film—ia adalah bintang yang menciptakan filmnya sendiri dari kehidupan.
Carr menulis dengan ketelatenan seorang arkeolog dan kelembutan seorang penyair. Ia menggali masa lalu dengan tangan gemetar: tak ingin menyakiti, tapi juga tak ingin menyembunyikan.
Melalui ratusan surat, wawancara, foto, dan fragmen kehidupan Candy yang tercerai-berai di museum, arsip, dan memori sahabatnya, Carr menyusun kembali sebuah potret yang utuh dan penuh luka. Ini bukan biografi. Ini adalah liturgi bagi seseorang yang berani bermimpi di tengah zaman yang lebih memilih mengubur mimpi seperti itu.
Baca Juga: Buku Karen Armstrong, The Lost Art of Scripturalism
Candy tidak hidup lama. Ia meninggal pada 1974, di usia 29, karena kanker. Tapi hidupnya, meski singkat, seperti satu lagu punk yang diputar dengan volume penuh: tak tertahankan, penuh gaya, dan berakhir mendadak.
Dalam hidup Candy, dunia hanya memberi peran kecil—figuran, pelacur, transvestite. Tapi Candy sendiri tahu bahwa ia adalah bintang. Bahwa panggung bukan sekadar tempat akting, tapi tempat mengubah identitas menjadi senjata, dan keindahan menjadi protes.
Cynthia Carr dengan jernih menunjukkan betapa Candy, meski sering dianggap ikon budaya pop bawah tanah, adalah tokoh politik yang tak pernah mendeklarasikan politiknya. Eksistensinya adalah aksi politik itu sendiri. Setiap langkahnya di jalanan, setiap pose glamornya di hadapan kamera, setiap kata lembut yang ia ucapkan meski dunia menghardik—semua adalah tindakan perlawanan. Dalam tubuh Candy, politik identitas tidak ditulis dengan teori, tetapi dijalani dengan rasa sakit.
Baca Juga: Buku John Palmeyer, “Ketika Iman Jadi Ancaman: Refleksi Kritis dalam Is Religion Killing Us?”
Candy Darling tidak mewakili semua orang trans, dan Carr tidak mencoba memaksakannya. Tapi Candy adalah simbol. Bahwa menjadi diri sendiri adalah tindakan revolusioner.
Bahwa feminitas yang dipilih—dan bukan diwariskan secara biologis—bisa lebih subversif daripada semua wacana akademik tentang gender. Candy tahu bahwa tubuhnya akan selalu dipertanyakan. Maka ia memilih menjawabnya dengan eyeliner dan lipstik: bukan untuk menyembunyikan, tapi untuk merayakan.
Yang membuat buku ini sangat kuat adalah bagaimana Carr tak hanya menulis tentang Candy, tapi juga tentang semua yang gagal melindunginya. Tentang industri film yang terus mengolok-olok, tapi tak pernah benar-benar memberi peran.
Baca Juga: Buku Xi Jinping Jelaskan Cara Membangun Komunitas Manusia yang Berbagi Masa Depan
Tentang komunitas seni yang kadang terlalu sinis untuk benar-benar mencintai. Tentang gerakan queer awal yang masih dilanda perpecahan, maskulinitas toksik, dan invisibilitas trans perempuan.
Tapi juga tentang para sahabat yang tetap bersamanya: Andy Warhol, Jackie Curtis, Holly Woodlawn. Dunia Warhol, dengan segala keanehannya, adalah tempat di mana Candy bisa menjadi dirinya—meskipun dengan harga yang mahal.
Warhol melihat Candy sebagai karya seni hidup. Namun Carr dengan halus mengungkapkan dilema: apakah Candy dicintai sebagai manusia, atau hanya sebagai simbol dari keanehan yang sedang tren?
Baca Juga: Buku Musdah Mulia, Muslimah Reformis: "Sebuah Seruan Kritis dari Hati Nurani Seorang Perempuan”
Candy Darling adalah seorang aktris yang tak pernah mendapat peran utama di layar, tapi Carr memberinya peran utama di halaman-halaman buku ini. Kita melihat Candy tertawa, menari, menangis, menulis puisi tentang kematian, dan mencatat dengan rapi di buku harian bahwa ia tidak takut mati, hanya takut dilupakan.Carr menjawab ketakutan itu dengan buku ini. Dan kita menjawabnya dengan air mata dan rasa kagum.
Carr menulis dengan bahasa yang tidak menggurui. Ia mengajak kita menyusuri dunia Candy dengan rasa hormat, bukan rasa ingin tahu murahan.
Ia tidak menekankan penderitaan Candy sebagai pusat cerita, tapi justru memperlihatkan cara Candy mengubah penderitaan itu menjadi estetika. Setiap helai rambut palsu, setiap pose dramatis, setiap kalimat dari mulut Candy adalah cara untuk bertahan di dunia yang menganggap tubuhnya sebagai kesalahan.
Di zaman kita hari ini, ketika perdebatan tentang gender kembali mengeras, buku ini datang sebagai pengingat yang indah sekaligus menyakitkan: bahwa hak untuk bermimpi tidak bisa diregulasi. Candy tidak meminta negara untuk mengakuinya.
Ia hanya ingin diperhatikan—dilihat, didengar, dicintai, seperti siapa pun. Dan dalam hal itulah, buku ini tidak hanya menjadi biografi, tapi juga ziarah: ke altar yang telah didirikan oleh para queer pendahulu, dengan tubuh dan nyawa mereka sendiri sebagai fondasinya.
Di akhir hidupnya, Candy menulis: “I shall not speak. I shall think of nothing. But love me.” Dan Cynthia Carr, dalam karya yang telaten ini, menjawabnya. Ia mencintai Candy tidak sebagai ikon, tapi sebagai manusia. Sebagai mimpi yang terlalu terang untuk hidup lama, tapi cukup terang untuk menunjukkan jalan bagi yang datang kemudian.
Buku ini layak dibaca bukan hanya oleh mereka yang tertarik pada sejarah LGBTQ, atau pecinta Warhol dan seni pop. Buku ini layak dibaca oleh siapa pun yang percaya bahwa identitas adalah hak, bukan hadiah.
Bahwa kita semua, pada akhirnya, ingin menjadi tokoh utama dalam hidup kita sendiri—meski panggungnya sempit, meski lampunya remang, meski penontonnya tak selalu tepuk tangan.
Candy Darling: Dreamer, Icon, Superstar bukan hanya biografi. Ia adalah surat cinta yang terlambat tapi tak pernah basi. Ia adalah puisi bagi semua yang berani hidup di tubuh yang mereka pilih sendiri.
Dan dalam dunia yang masih sering menolak mereka, buku ini adalah panggung. Terbuka. Terang. Dan akhirnya, adil.***