GUPBI Bali Usul Pemerintah Manfaatkan Ternak Babi Sebagai Solusi Tekan Sampah
- Penulis : Dody Bayu Prasetyo
- Selasa, 22 April 2025 07:21 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Gabungan Usaha Peternakan Babi Indonesia (GUPBI) Bali mengusulkan ke pemerintah daerah agar memanfaatkan hewan ternak babi sebagai salah satu solusi menekan sampah.
Ketua GUPBI Bali I Ketut Hari Suyasa di Denpasar, Senin, 21 April 2025, mengatakan, seekor babi memerlukan tiga kilogram makanan per hari yang bisa dipenuhi lewat sisa makanan dapur, sehingga sampah bekas dapur tidak perlu sampai ke tempat pembuangan akhir (TPA).
“Bayangkan jika di kota keluarga memelihara seekor babi, ketika mencari sisa makanan bayangkan perlu berapa dapur yang artinya semua sisa makanan bisa diolah dan mengurangi sampah yang akan dibuang,” kata dia.
Baca Juga: Karantina Maluku Utara Amankan Ratusan Kilogram Daging Babi Tanpa Dokumen di Pelabuhan Ahmad Yani
GUPBI Bali juga melihat dalam sehari sampah sisa pasar berupa buah dan sayur dapat mencapai dua ton, dimana jika diolah sampah tersebut jadi memiliki nilai ekonomi untuk dijadikan pakan ternak babi.
Apalagi, Hari Suyasa menyebut saat ini juga sudah ada teknologi yang mampu mengolah pakan babi sehingga tidak bau, sementara jika dikaitkan dengan pencemaran, kotoran babi menurutnya tak jauh berbeda dengan kotoran hewan peliharaan di rumah-rumah lainnya.
Di Bali sendiri menurut dia upaya mendorong kembalinya peternak babi rumahan bukan hanya untuk mengurangi masalah sampah dan memberi manfaat ekonomi, melainkan untuk adat dan budaya.
Baca Juga: Australia Temukan Virus Ensefalitis Jepang di Dua Peternakan Babi, Queensland
Oleh karena itu asosiasi peternakan mendorong pemerintah memberi akses masyarakat terutama di perkotaan kembali seperti dahulu yaitu memelihara babi rumahan.
GUPBI Bali mencatat dari 27 ribu anggotanya, peternak babi rumahan hanya tersisa separuhnya, pun mereka hanya tersebar di pedesaan, sementara di kota sudah jarang.
Hal ini menyebabkan semakin sulitnya mencari stok babi, dan berkurangnya semangat bertradisi seperti mepatung atau patungan desa adat membeli babi untuk Hari Raya Galungan.
Baca Juga: Ketika Jurnalisme Dirundung Teror Kepala Babi
Dahulu umumnya desa adat akan membeli babi untuk mepatung milik warga peternak, sehingga dengan makin hilangnya peternak rumahan membuat tak ada lagi semangat desa adat mengolah babi bersama di hari raya.
Hari Suyasa menyebut saat ini anggotanya yang peternak rumahan paling banyak tersebar di Klungkung, Karangasem, Jembrana, dan Bangli, sementara kian menipis bahkan sulit ditemui di Denpasar dan Badung.
Akhirnya fenomena belakangan, masyarakat cenderung individualis membeli daging babi potong dengan harga Rp120 ribu per kilogram atau dua kali lipat dari harga mepatung.
Baca Juga: Tempo Apresiasi Kunjungan dan Dukungan SKUAD INDEMO Terkait Aksi Teror Kepala Babi dan Tikus
“Jadi menurut mereka itu ribet, sehingga budaya mepatung ini mulai bergeser, semua ambil praktisnya, juga sekarang babi hanya untuk upacara jadi hanya beli daging seperlunya sedangkan yang dikonsumsi saat hari raya daging ayam misalnya,” ujar Hari Suyasa.***