Kebijakan Pelarangan Air Minum Kemasan di Bawah 1 Liter: Efektif atau Diskriminatif?
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Kamis, 17 April 2025 15:05 WIB

Penerbitan SE nomor 9 tahun 2025 memang merupakan cara pemprov Bali mengendalikan peredaran sampah. Namun, klausul pelarangan produksi dan distribusi air dalam minum kemasan di bawah 1 liter memicu kritik dari beragam kalangan karena dapat berdampak pada masyarakat, pariwisata dan berujung pada ekonomi daerah.
Mengutip data Sungai Watch terkait sampah di Bali dan Banyuwangi, limbah air kemasan botol PET hanya 4,4 persen. Masih lebih banyak kemasan sachet (5,5 persen), kantong plastik (15,2 persen) dan plastik bening (16,2 persen). Kecuali kemasan sachet, semua jenis sampah plastik ini masih memiliki nilai ekonomis karena bisa di daur ulang.
Sejalan dengan data itu, Ketua Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) Pris Polly Lengkong mengungkapkan bahwa SE tersebut bukan jalan keluar untuk mengatasi permasalahan sampah di Bali. Dia mengungkapkan kalau kemasan plastik merupakan salah satu komoditas tertinggi dari limbah plastik karena selalu menjadi incaran para pemulung.
Baca Juga: Gubernur Bali, Wayan Koster: Nyoman dan Ketut yang Lahir 2025 Mulai Dapat Insentif dari Pemerintah
"Harusnya jangan keluarkan SE yang membatasi tetapi keluarkan investasi untuk membangun industri daur ulang karena itu yang kurang di Bali," katanya. Sejauh ini, IPI mampu menyerang lebih dari 80 persen sampah plastik di Bali.
Pris Polly mengatakan, pemprov Bali sebenarnya bisa menangani permasalahan sampah yang ada asalkan mau membangun industri daur ulang. Dengan adanya industri tersebut, sambung dia, limbah plastik yang telah diolah dapat di daur ulang menjadi barang lain atau kembali menjadi botol minuman.
Dia mengungkapkan, selama ini pemulung di Bali selalu mengekspor hasil olahan limbah plastik yang sudah di press atau digiling ke Jawa. Dia melanjutkan, hal ini membuat pengolahan dan pengelolaan limbah di Bali tidak berjalan maksimal sehingga masih menyisakan sampah di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).
Baca Juga: Gubernur Wayan Koster: Pelaku Usaha di Bali Bisa Dicabut Izin Jika Tak Kelola Sampah
Senada, Anggota DPD asal Bali, Niluh Djelantik menegaskan bahwa pemerintah tidak seharusnya mengeluarkan aturan yang mengganggu pendapatan UMKM, pariwisata, kegiatan adat, upacara dan lain-lainnya. Dia meminta pemerintah mengkaji lagi SE tersebut, termasuk berkenaan dengan produksi dan peredaran air kemasan di bawah 1 liter.
"Tidak semua orang kuat bawa air botolan 1,5 liter. Tetapkan saja air kemasan botol minimal 650ml dan berikan aturan tegas bagaimana botol itu harus dikelola, sudah sangat membantu memerangi sampah plastik," katanya.***