Ekonom Esther Sri Astuti Nilai Kebijakan Ekspansif Diperlukan untuk Tekan Gelombang PHK
- Penulis : Abriyanto
- Senin, 03 Maret 2025 12:45 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menilai pendekatan kebijakan ekspansif (expansive policy) diperlukan untuk menekan terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Pertama, kebijakannya (dari pemerintah) harus bersifat ekspansif, yaitu kebijakan yang lebih mendorong sektor riil untuk lebih bergeliat,” kata Esther Sri Astuti kepada ANTARA di Jakarta, Senin, 3 Maret 2025.
Menurut Esther Sri Astuti, kebijakan ekspansif memiliki peran untuk menurunkan tingkat pengangguran dan merangsang aktivitas bisnis atau belanja, sehingga diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil.
Baca Juga: Seratusan Guru Honor Jakarta yang Sempat di-PHK Sudah Kembali Mengajar
“Jika mengacu berdasarkan teori ekonomi, kalau perekonomian negara sedang di bawah, maka untuk menaikkannya adalah melalui expansive policy,” ujar dia.
Adapun beberapa hal dari kebijakan ekspansif yang menjadi rekomendasi Esther bisa dilihat melalui dua sisi, yaitu dari sisi fiskal dan moneter. “Dari sisi fiskal, (pemerintah bisa) memberikan insentif pajak, atau melakukan implementasi stimulus infrastruktur (fiskal) seperti yang sudah dilakukan di tahun 2009,” kata Esther.
Ia melanjutkan target dari langkah tersebut adalah untuk penciptaan dan peningkatan daya serap tenaga kerja dan meredam PHK.
Baca Juga: Pengusaha Sukabumi: Puluhan Ribu Pekerja Pabrik Kena PHK
Namun, Esther menggarisbawahi langkah atau regulasi terkait nantinya harus bisa terukur. Selain itu, kebijakan ekspansif juga bisa dilihat dari sisi moneter, di mana pemerintah menggunakan alat-alat seperti suku bunga untuk mengendalikan kinerja ekonomi.
“Misalnya ada insentif subsidi bunga untuk orang-orang (korban PHK) yang ada kredit di bank. Dari sisi kredit juga ada kelonggaran untuk mereka yang mau apply kredit di bank (untuk membuat usaha),” kata Esther.
Tak hanya itu, ekonom Universitas Diponegoro itu pun turut mendorong optimalisasi penggunaan kartu prakerja yang seharusnya bisa menjadi wadah perjodohan (matchmaking) antara calon pekerja, termasuk mereka yang terkena PHK, dengan industri atau perusahaan.
Baca Juga: Ketua Umum Kadin Anindya Bakrie Imbau Pengusaha Hindari PHK Karyawan Usai UMP Naik 6,5 Persen
Menurut Esther, saat ini Kartu Prakerja malah lebih condong ke kemampuan yang diperlukan untuk berwirausaha.
“Selama ini kartu prakerja ini lebih ke entrepreneurship. Kalau menurut saya, tidak cukup untuk itu, tapi juga seharusnya dibuat untuk matchmaking program, perjodohan antara calon tenaga kerja dengan employer yang membutuhkan tenaga kerja. Peran pemerintah ada di situ,” ujar Esther.***