Puisi Esai Denny JA: Tarian Mawar Hitam, Elegi Flu Spanyol
- Senin, 10 Februari 2025 09:48 WIB
![image](https://img.orbitindonesia.com/2025/02/10/20250210095122IMG-20250210-WA0009_copy_800x450.jpg)
Puisi esai seri "Yang Menggigil di Arus Sejarah" (2)
ORBITINDONESIA.COM - 1918, di tengah Perang Dunia Pertama, virus Flu Spanyol menyebar, menyebabkan kematian 50 juta manusia, jauh lebih banyak daripada korban Perang Dunia.
-000-
Dunia terbelah.
Parit-parit menjadi luka menganga,
mengunyah prajurit dengan lumpur dan darah.
Di atas, burung besi meraung.
Di bawah, bumi bergetar dihantam artileri.
Di dalam, tubuh gemetar menunggu ajal.
Mereka menggenggam bayonet,
menggigil sambil berdoa,
dalam sekali,
pilu sekali:
“Tuhan, bekerjalah kuasa-Mu.
Selesaikan perang ini.”
Ternyata,
musuh lebih kejam
tak lahir dari besi dan mesiu.
Ia tak berdiri di seberang parit,
tak bawa bendera dan bayonet.
Maut yang lebih horor
menunggu di rumah, di ranjang-ranjang tua,
di pangkuan seorang ibu
yang tak sadar,
ciumannya berubah racun.
Aku ada di sana,
seorang dokter di garis belakang.
Kulihat para tentara kembali ke rumah,
membawa senyum kemenangan,
tapi tumbang dalam kesunyian.
Datang musuh, lebih hebat dari ratusan bom:
Virus Flu Spanyol.
-000-
Aku ada di sana.
Tak berdaya, kusaksikan,
Flu Spanyol membunuh lebih banyak dibanding Perang Dunia.
Monster sangat kecil ini,
tak kasat mata,
membunuh tidak dengan ledakan,
bukan dengan hujan darah,
tetapi dengan kesunyian.
Batuk di setiap rumah,
di setiap tikungan jalan,
menjadi orkestra raksasa,
kidung menjemput kematian.
Kami pulang ke kampung halaman,
dengan seragam penuh debu.
Tapi rumah sudah kehilangan warna.
Tak ada lambaian tangan di pelabuhan.
Tak ada keriuhan di desa.
Pintu-pintu tertutup rapat.
Jendela hanya disingkap,
nenek tua mengintip dengan ketakutan.
Ke mana perginya orang-orang ini?
Astaga!
Mereka berkumpul di rumah sakit.
Aula penuh wajah lunglai.
Lorong-lorong sesak oleh tubuh pucat.
Lelaki muda, perempuan tua, bayi yang belum bisa bicara,
bersatu dalam nyanyian kematian.
Mereka dipeluk maut,
tanpa peluru menembus dada.
Tanpa bayonet menancap perut.
Seorang prajurit duduk di sudut,
tangannya menggenggam medali kehormatan,
tapi matanya kosong,
bibirnya gemetar berkata:
“Aku memenangkan perang,
kutembus pertahanan lawan.
Tapi kenapa aku pulang hanya untuk mati, oleh virus kecil ini?”
Aku menang perang,
untuk siapa?”
-000-
Perang Dunia segera usai.
Tapi aku bersaksi.
Justru lebih banyak peti mati.
Telah datang perang lain,
yang jauh lebih sunyi.
Jauh lebih ngeri.
Lonceng gereja lebih sering berdentang.
Kematian semakin banyak.
Aku melihat prajurit,
bertahan dari hujan peluru.
Tapi ia tumbang karena hembusan angin,
yang membawa virus Flu Spanyol.
Aku melihat ibu
yang menanti suaminya pulang,
jatuh ke tanah dengan napas tersendat,
tangannya masih memegang surat,
yang tak sempat ia baca.
Aku melihat lelaki tua,
melewati dua perang tanpa cedera,
tersungkur di depan rumahnya sendiri.
Bukan karena luka, bukan karena pisau,
tetapi karena udara yang ia hirup,
virus menyelinap di pagi yang ia kira damai.
Di dinding rumah sakit,
bayang bocah merangkak sunyi.
Boneka tanpa mata,
saksi bisu maut yang mengintai,
memeluk kabut dingin,
sisa napas terakhir ibunya.
“Ibu di mana?” bisiknya pada langit-langit yang retak.
Malaikat maut menari, mengumpulkan kelopak mawar hitam,
nyawa yang dicabut,
membusuk karena virus.
Di sudut gudang,
selimut putih berbisik pada tumpukan tubuh bocah,
yang dingin:
“Tidurlah, tidurlah anak-anakku.
Sebelum fajar datang,
menumpahkan es ke paru-parumu,
yang masih belajar bernapas.”
Nyanyian para ibu mengalir pelan,
menyuburkan bumi dengan air mata.
Anak-anaknya tak sempat bernama,
mati terkulai,
menjelma akar-akar mawar hitam, menembus tanah,
mencari payudara yang hangat.
-000-
Sejak dulu,
aku takut perang karena ia maut yang bising.
Aku hindari perang karena ia berdarah.
Tapi kematian yang paling kejam datang dalam diam.
Aku menyaksikan
dunia kalah tanpa ada pertempuran dengan letusan bom.
Peluru bisa dihentikan oleh perdamaian.
Tapi udara virus Flu Spanyol,
tak bisa diajak berunding.
Perang Dunia bisa dihentikan.
Tapi siapa yang bisa berunding dengan angin yang membawa virus?
Aku di sana.
Hadir.
Tak berdaya.
Celaka.
Jakarta, 10 Februari 2025 ***
Catatan:
1) Puisi esai ini dramatisasi kisah virus Flu Spanyol yang mewarnai perang dunia pertama.