DECEMBER 9, 2022
Puisi

Puisi Esai Denny JA: Tapi Kecerdasan Kami Tergolong Rendah, Pak Guru

image
Ilustrasi (Istimewa)

Puisi esai seri "Mereka Yang Mulai Teriak Merdeka" (11)

ORBITINDONESIA.COM - 1922, Ki Hajar Dewantara mendirikan sekolah untuk semua: Taman Siswa. Tapi kini IQ rakyat sangat rendah. 1

-000-

Di negeri Belanda, angin tak mengenal namanya.
Ia selembar kertas,
tercecer di kota yang tak peduli.

Di tanah air,
ia menanam benih sebuah mimpi: Partai Politik Hindia.

Tapi sebelum akar sempat menjabat bumi,
sepasang tangan besi mencabutnya.

Petir mematahkan dahan,
sebelum burung sempat singgah.

Ia dibuang ke Belanda,
ke tanah yang tak berbahasa hatinya.

Ia menyadari,
betapa tak berdaya di hadapan penjajah.

Ia sudah mencoba,
berkali-kali,
berdiri di tengah gelombang,
melawan dengan rasa keadilan.

Tapi Ki Hajar hanyalah perahu kertas,
berlayar di samudera mimpi.

Layarnya koyak sebelum sempat berlabuh, hanyut dalam arus yang tak kenal iba."

Di malam yang sunyi,
dengan hati yang memikul luka,
Ki Hajar menatap langit,
mencari jalan di antara bintang.

“Harus kutempuh cara lain,” bisiknya.”

Lalu, ia menyalakan cahaya,
bukan pada pedang: Partai Politik,
tapi pada aksara: Pendidikan.

-000-

Ia pulang ke tanah air.
Di bawah atap sederhana,
di antara lantai bambu dan dinding yang bergetar oleh angin,
lahirlah Taman Siswa.

1922, di Yogyakarta, sekolah pertama berdiri,
bukan untuk kaum bersepatu kilap,
bukan untuk mereka yang lahir dalam kain sutra.

Tetapi sekolah untuk rakyat jelata:
anak-anak yang hanya kenal cangkul dan arit.

Ia tidak hanya membangun sekolah,
tetapi ladang pikiran,
tempat kata-kata tumbuh menjadi pohon masa depan.

Lima tahun berlalu.
Taman Siswa tumbuh di 20 kota,
menjadi sungai, mengaliri bumi agar mulai bermimpi.

-000-

Tiba era kemerdekaan.

Ki Hajar duduk, bukan hanya sebagai Menteri Pendidikan,
tapi sebagai penyala.

Hari lahirnya menjadi Hari Pendidikan Nasional.

Tapi di sore itu, di tahun 2025,
puluhan tahun setelah kematiannya,
seorang kepala sekolah berdiri,
menatap makam Ki Hajar Dewantara.

Ia meratap:

“Kecerdasan bangsa kita sangat rendah.
Stunting mencengkeram satu dari lima anak.”

Mereka memang belajar membaca.
Tapi lidah mereka terjepit oleh piring yang kosong.

Pena bergetar di jari kurus.
Buku terbuka, tapi tak terbaca.
Gizi  yang hilang merampas cahaya.

Ia mengadu:

Di negeri lain, ujian adalah tangga.

Tapi di sini, ia menjelma dinding tinggi.

Sejak kecil, mereka hanya belajar,
menulis lapar, menghitung sunyi. ​​​​​​2

Apakah ini kutukan sejarah,
atau tangan-tangan kami yang gagal menulis takdir?

Tapi makam Ki Hajar Dewantara hanya diam.
Hening.
Luka.

Lalu di sela-sela rumput,
di makam itu,
menetes air mata.

Kepala sekolah itu berlutut,
jari-jarinya menyentuh tetesan di rumput.

Bukan embun,
bukan air mata.
Ini air kesedihan yang jatuh dari sejarah.

Ki Hajar ada di sana,
mengirimkannya,
dalam diam yang terlalu pedih untuk diucapkan.

Jakarta, 2 Februari 2025 ***

CATATAN:

1) Puisi esai ini dramatisasi perjuangan Ki Hajar Dewantara menaikkan Indonesia dari sisi pendidikan, namun kini IQ anak- anak Indonesia dianggap rendah.

(2) Test standar siswa Indonesia untuk matematika dan lainnya (PISA) tergolong di bawah rata- rata.

Halaman:

Berita Terkait