
Keyakinannya pada ilmu pengetahuan mengantarkan Abdullah pada tangga-tangga kesuksesan. Berkali-kali ia hijrah. Dari Akademisi, intelektual, host TV, penulis, penyair, sastrawan, film maker, konsultan politik, pengusaha, spiritualis, aktivis keberagaman, pelukis dengan bantuan AI, hingga menjadi filantropis. Ratusan buku, video, lukisan, pesan kemanusiaan dan perdamaian telah beredar di berbagai media sosialnya.
Abdullah, satu orang dengan multitalenta, multidentitas. Abdullah lalu reinkernasi menjadi seorang milyader. Duitnya tak berseri. Penghargaan dari dalam dan luar negeri juga membanjirinya.
Tapi hidup tak selalu berjalan linear. Miskin, lalu kaya selamanya, atau sedih dulu, lalu bahagia selamanya. Konsep hidup tidak begitu! Hidup itu fluktuatif, naik-turun. Setiap level kehidupan, selalu punya ujiannya sendiri. Abdullah ditempa berbagai ujian.
“Selain uang, Abdullah tidak punya apa-apa!” seorang intelektual pernah berkata.
“Sudah berapa banyak orang yang ia sogok dengan uangnya? Ada uang, semua bisa direkayasa,” teriakan lainnya datang.
Tahun 2015, ramai-ramai orang mulai mengkritiknya, menghujatnya, karena ide puisi esai yang dianggap memporak-poranda “dunia perpuisian”.
31 Januari 2018, perwakilan penyair mendatangi Balai Bahasa Jawa Barat di Bandung. Mereka berteriak, protes, dan menolak Gerakan Puisi Esai Nasional yang digagas oleh Abdullah.
Sastrawan lainnya juga tidak tinggal diam, “Abdullah itu konsultan politik. Bagaimana mungkin ia bisa dicalonkan menjadi 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh? Ia tak bisa dan tak layak sejajar dengan Chairil Anwar atau Sapardi.
Arus kritk dan hujatan terus mengalir bak air bah. Pemilu tahun 2024, langkah Abdullah yang dengan terbuka mengumumkan mendukung presiden, yang kabarnya “presiden pesanan presiden sebelumnya”, adalah puncaknya.
Di grup WhatsApp yang dipimpinnya, beranggotakan 150 lebih orang-orang ternama, gaduh. Berbulan-bulan kritikan tumpah di sana. Variasi kata-kata kasar berhamburan di sana. Tak ada lagi wibawa, penghargaan, kebijaksanaan, atau kesedar rasa kemanusiaan.