Catatan Denny JA: Renungan Sumpah Pemuda, Warna Nasionalisme di Era Algoritma
- Penulis : M. Ulil Albab
- Senin, 28 Oktober 2024 09:08 WIB
Namun, globalisasi membawa perubahan. Nasionalisme mulai terbuka pada pengaruh asing. Menjadi bagian bangsa bukan berarti menolak dunia luar.
Nasionalisme berkembang menjadi semangat yang menyerap nilai-nilai baru. Identitas kebangsaan Indonesia menjadi campuran, tradisi dan modernitas.
Kini, di era algoritma, nasionalisme mengalami babak baru. Identitas kebangsaan tidak lagi tercipta melalui sejarah atau pendidikan. Ia terbentuk oleh layar digital dan konten.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Wahai Para Esoteris, Berkumpulah
Generasi baru membangun kebangsaan mereka dari realitas yang dibentuk algoritma. Nasionalisme menjadi lebih fleksibel, tetapi juga lebih rentan.
Menjaga Nasionalisme di Era Algoritma
Menghadapi era algoritma, setiap individu harus siap dan disiapkan. Jangan sampai terjadi Algoritma menjadi tuan dan individu budaknya.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Hukum Pertama Hidup Bermakna, Hubungan Personal
Kita butuh literasi digital yang mendalam. Masyarakat perlu menyadari dan memilih pengaruh algoritma pada identitas mereka.
Di negara-negara maju, literasi digital menjadi prioritas. Masyarakat diajarkan untuk berpikir kritis, menyaring informasi yang mereka konsumsi, sejak di sekolah.
Selain itu, transparansi algoritma sangat penting. Platform digital perlu terbuka soal bagaimana informasi dipilih. Hal ini mengurangi manipulasi informasi yang tak disadari.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Hukum Kedua Hidup Bermakna, Positivity
Warna nasionalisme setiap individu jangan ditentukan algoritma semata.