Buku Baru: Dari Wukuf di Arafah Sampai ke Pulau Sabu
- Penulis : Krista Riyanto
- Minggu, 07 Juli 2024 10:34 WIB
Respon Ahmadie selanjutnya tak duga. “Uda Akmal suka parfum? Nanti dibawakan dari Saudi. Yang aroma apa? … oud original, oud bukiyah, _oud Arab, oud noir …”
Saya terpana. Uji coba membuat lagu dengan generator musik AI berujung hadiah sebotol parfum dari Tanah Suci. Maka, meminjam ayat populer dalam Surat Ar Rahman yang diwahyukan hingga 31 kali: Nikmat Tuhanmu mana lagikah yang kamu dustakan?
Pada Desember 2022, buku bunga rampai Perang Pecah (Lagi) di Gaza: Antologi Kemanusiaan Palestina SATUPENA setebal 282 halaman terbit. Saya adalah kurator dan editor buku yang menampilkan 89 karya dari 79 orang penulis, di antaranya Fakhrunnas MA Jabbar, Isbedy Stiawan ZS, Nia Samsihono (puisi); Asvi Warman Adam, Berthold Damshäuser, Jean Couteau, Smith Alhadar (opini); Pipiet Senja, Swary Utami Dewi, Dwi Sutarjantono (cerpen); serta Jonminofri Nazir, Monica Anggi JR, serta Denny J.A. (puisi esai).
Puisi berjudul “Di Kota Gaza yang Terluka dan Berdarah” karya Nia Samsihono-- nama pena Dad Murniah--saya olah menjadi lagu. Alhamdulillah Nia suka.
Dari sini ide terus berkembang. Dalam kapasitas Nia sebagai Ketua Satupena Jakarta, kami sepakat untuk memberi kesempatan lebih banyak anggota Satupena Jakarta yang ingin sajak mereka dijadikan versi musikalisasi. Jumlah yang disepakati: 15 karya.
Maka selain “Di Kota Gaza yang Terluka dan Berdarah” dan “Siapa yang Membela Kita, Ibu?” karya Denny JA yang juga Ketua Umum Perhimpunan Penulis Nasional Satupena (2021 – 2026), dibutuhkan 13 sajak lagi. Pengumuman yang dibuat Nia di WAG Satupena Jakarta mendapat sambutan hangat. Mulai dari penyair kawakan Eka Budianta, juga Ketua Dewan Penasehat Satupena Jakarta, jurnalis-penulis senior Sari Narulita (sekaligus peserta tertua karena berumur 80 tahun), dan anggota lainnya segera mengirimkan sajak masing-masing. Setelah kuota jumlah sajak tercapai, antusiasme anggota tak berhenti untuk berpartipasi dalam antologi Ketika Kata dan Nada Berjumpa.
Namun sebagai pilot project dengan durasi 4 menit per lagu, sehingga total durasi 60 menit untuk semua lagu yang ditempatkan dalam diska lepas ( flash disk), jumlah itu sudah mencukupi untuk volume 1.
Saya coba menyelami setiap sajak yang dikirimkan Nia Samsihono--sebagai kurator dan editor--untuk bisa menemukan dimensi kompositoris paling cocok untuk setiap sajak.
Hasilnya adalah sebuah libretto untuk sajak Eka Budianta (“Terima kasih Bulan Juni”, merupakan tribute untuk filsuf-budayawan Toeti Heraty (1931 - 2021); country music berbalut synth-pop untuk sajak “Anak-Anak Indonesia” karya Dr. Abustan dan “Jakarta” karya Dwi Surjantono; dub poetry dalam bingkai bedroom pop untuk puisi saya sendiri “Perjalanan Kata” yang terilhami dari ayat terakhir Surat Al Muzzammil (QS 73:20); energi ragamuffin, ska dan reggae dalam “Ketapang di Tepian Laut” (Dyah Tinggeng); racikan Middle East folk song pada “Belajar Benar Berkata-kata” (Yudha Kurniawan); Mediterranian pop untuk puisi “Sang Pengabdi” (Masya Firdaus); dentum dance music, elektronik, dan EDM yang energetik dalam “Kebun Istana” (Menur Hayati Adiwiyono) dan sajak “Taman Semesta” (Ellyviani Ekaputri Wulandari); warna pop balada pada “Tuhan, Izinkan Aku” (Pipiet Senja); serta folk rock dengan instrumen petik tradisional pada “Pulau Sabu” (Sari Narulita).
Sebagai penutup, kita sudah terbiasa menggunakan peta digital pada kendaraan sebagai pemandu perjalanan sehari-hari, melakukan pembayaran via QRIS untuk pesan makanan dan belanja online, serta 1001 urusan lainnya di tengah dinamika dunia yang mencari formulasi dengan kecepatan perkembangan AI.