Buku Baru: Dari Wukuf di Arafah Sampai ke Pulau Sabu
- Penulis : Krista Riyanto
- Minggu, 07 Juli 2024 10:34 WIB
Oleh Akmal Nasery Basral*
ORBITINDONESIA.COM - Saat jutaan jamaah haji melakukan wukuf di Padang Arafah pada 9 Zulhijjah tiga pekan lalu (bertepatan 16 Juni 2024), jurnalis senior Linda Djalil mengirimkan puisi berjudul “Wukuf” ke WAG Basralicious, grup pembaca karya-karya saya yang dibentuk pada 2018.
Mantan wartawan majalah Tempo dan Gatra tersebut menuangkan pengalamannya 20 tahun silam saat menunaikan ibadah haji.
Kesyahduan puisi itu membuat saya merespon dengan menggubahnya menjadi lagu, dengan bantuan generator musik artificial intelligence (AI).
Linda, alumnus Sastra Indonesia Fakultas Sastra UI yang pernah belajar piano dari pianis Iravati Sudiarso, merespon serius. “Terima kasih, Akmal. Saya menangis mendengar aransemen lagu ini. Ternyata hebat sekali efek musik dalam memperkuat pesan yang dibawakan kata-kata.”
Tanggapan itu mendorong semangat bereksperimen saya lebih jauh. Saya lirik WAG Poetry Writing Society of Indonesia yang dibangun Profesor Riri Fitria Sari dan Profesor Prijono Tjiptoherijanto, dua Guru Besar Universitas Indonesia yang juga penyuka puisi.
Ada puisi Dr Ibnu Wahyudi, dosen FIB UI, terpampang. Judulnya “Aku Memilih”. Ada juga karya Gus Nas (HM Nasruddin Anshoriy Ch, pendiri Pesan Trend Budaya Ilmu Giri, Yogyakarta) berjudul “Badai Debu di Muzdalifah”.
Sajak “Aku Memilih” saya prompting dengan genre folk rock dan instrumen mellotron, sedangkan “Badai Debu di Muzdalifah” saya injeksi dengan spirit symphonic rock , deru riff gitar elektrik, dan solo saksofon sebagai pemanis nada.
Di WAG lainnya, Satupena Jakarta, wartawan kawakan Ahmadie Thaha yang kini bertungkus lumus mengelola pesantren di Gadog, Sukabumi, dan Cirebon, mengirim saya teks lirik himne dan mars Pondok Pesantren Tadabbur Al Qur’an. Lirik ditulis penyair Jamal D. Rahman, mantan pemimpin redaksi majalah Horison. “Lagunya sudah dibuat, tetapi sepertinya belum enak didengar ya?” tulis Ahmadie Thaha. Saya pelajari syairnya agar bisa menemukan prompting yang sesuai. Selesai aransemen selesai saya kirim kembali.
Pesan dari Ahmadie masuk lagi. “Alhamdulillah. Mars ini pas banget, penuh gairah, membuat semangat melonjak-lonjak, penuh debar-debur. Terima kasih banyak, dan apresiasi utama kami sampaikan kepada Uda Akmal. Apa boleh ini mars dan himne yang pertama kali musiknya dibuat dengan AI?” tanyanya. Saya jawab, “Kalau di Indonesia sangat mungkin. Kalau untuk dunia saya tidak tahu.”
Respon Ahmadie selanjutnya tak duga. “Uda Akmal suka parfum? Nanti dibawakan dari Saudi. Yang aroma apa? … oud original, oud bukiyah, _oud Arab, oud noir …”
Saya terpana. Uji coba membuat lagu dengan generator musik AI berujung hadiah sebotol parfum dari Tanah Suci. Maka, meminjam ayat populer dalam Surat Ar Rahman yang diwahyukan hingga 31 kali: Nikmat Tuhanmu mana lagikah yang kamu dustakan?
Pada Desember 2022, buku bunga rampai Perang Pecah (Lagi) di Gaza: Antologi Kemanusiaan Palestina SATUPENA setebal 282 halaman terbit. Saya adalah kurator dan editor buku yang menampilkan 89 karya dari 79 orang penulis, di antaranya Fakhrunnas MA Jabbar, Isbedy Stiawan ZS, Nia Samsihono (puisi); Asvi Warman Adam, Berthold Damshäuser, Jean Couteau, Smith Alhadar (opini); Pipiet Senja, Swary Utami Dewi, Dwi Sutarjantono (cerpen); serta Jonminofri Nazir, Monica Anggi JR, serta Denny J.A. (puisi esai).
Puisi berjudul “Di Kota Gaza yang Terluka dan Berdarah” karya Nia Samsihono-- nama pena Dad Murniah--saya olah menjadi lagu. Alhamdulillah Nia suka.
Dari sini ide terus berkembang. Dalam kapasitas Nia sebagai Ketua Satupena Jakarta, kami sepakat untuk memberi kesempatan lebih banyak anggota Satupena Jakarta yang ingin sajak mereka dijadikan versi musikalisasi. Jumlah yang disepakati: 15 karya.
Maka selain “Di Kota Gaza yang Terluka dan Berdarah” dan “Siapa yang Membela Kita, Ibu?” karya Denny JA yang juga Ketua Umum Perhimpunan Penulis Nasional Satupena (2021 – 2026), dibutuhkan 13 sajak lagi. Pengumuman yang dibuat Nia di WAG Satupena Jakarta mendapat sambutan hangat. Mulai dari penyair kawakan Eka Budianta, juga Ketua Dewan Penasehat Satupena Jakarta, jurnalis-penulis senior Sari Narulita (sekaligus peserta tertua karena berumur 80 tahun), dan anggota lainnya segera mengirimkan sajak masing-masing. Setelah kuota jumlah sajak tercapai, antusiasme anggota tak berhenti untuk berpartipasi dalam antologi Ketika Kata dan Nada Berjumpa.
Namun sebagai pilot project dengan durasi 4 menit per lagu, sehingga total durasi 60 menit untuk semua lagu yang ditempatkan dalam diska lepas ( flash disk), jumlah itu sudah mencukupi untuk volume 1.
Saya coba menyelami setiap sajak yang dikirimkan Nia Samsihono--sebagai kurator dan editor--untuk bisa menemukan dimensi kompositoris paling cocok untuk setiap sajak.
Hasilnya adalah sebuah libretto untuk sajak Eka Budianta (“Terima kasih Bulan Juni”, merupakan tribute untuk filsuf-budayawan Toeti Heraty (1931 - 2021); country music berbalut synth-pop untuk sajak “Anak-Anak Indonesia” karya Dr. Abustan dan “Jakarta” karya Dwi Surjantono; dub poetry dalam bingkai bedroom pop untuk puisi saya sendiri “Perjalanan Kata” yang terilhami dari ayat terakhir Surat Al Muzzammil (QS 73:20); energi ragamuffin, ska dan reggae dalam “Ketapang di Tepian Laut” (Dyah Tinggeng); racikan Middle East folk song pada “Belajar Benar Berkata-kata” (Yudha Kurniawan); Mediterranian pop untuk puisi “Sang Pengabdi” (Masya Firdaus); dentum dance music, elektronik, dan EDM yang energetik dalam “Kebun Istana” (Menur Hayati Adiwiyono) dan sajak “Taman Semesta” (Ellyviani Ekaputri Wulandari); warna pop balada pada “Tuhan, Izinkan Aku” (Pipiet Senja); serta folk rock dengan instrumen petik tradisional pada “Pulau Sabu” (Sari Narulita).
Sebagai penutup, kita sudah terbiasa menggunakan peta digital pada kendaraan sebagai pemandu perjalanan sehari-hari, melakukan pembayaran via QRIS untuk pesan makanan dan belanja online, serta 1001 urusan lainnya di tengah dinamika dunia yang mencari formulasi dengan kecepatan perkembangan AI.
Maka, dari wukuf di Arafah sampai ke Pulau Sabu, sejatinya antologi Ketika Kata dan Nada Berjumpa ini adalah ikhtiar untuk bersahabat dengan teknologi sekaligus mendorong semangat penciptaan karya yang sesuai dengan elan zaman. ***
*Tulisan ini cuplikan dari Epilog Ketika Kata dan Nada Berjumpa yang akan segera terbit.
**Akmal Nasery Basral ialah penerima Anugerah Sastra Andalas 2022 kategori Sastrawan/Budayawan Nasional