Yang lebih mencemaskan para diktator dan otokrat adalah unsur anarki dalam tertawa. Tertawa tak pernah dirancang dari atas ataupun bawah. Ia lepas, meledak, tak bertujuan tertentu, dan bisa “ngakak”, sampai terguling-guling, tak tertahan.
Sepuluh tahun yang lalu Presiden Korea Utara — negeri paling totaliter di abad ini — melarang rakyatnya tertawa sampai 11 hari, berhubung peringatan 10 tahun wafatnya sang ayah, diktator Kim Jong Il. Polisi dikerahkan buat mencatat siapa yang mukanya tak tampak sedih.
Ini mungkin kebijakan antitertawa yang paling drastis dalam sejarah manusia, sebab di Abad Pertengahan Eropa, ketika Raja dan Gereja mengatur perilaku orang sampai batin, ketawa masih diizinkan. Bahkan dilepaskan.
Baca Juga: VIRAL! Penjelasan Goenawan Mohamad tentang Presiden Jokowi
Terkenal adalah apa yang dilihat Mikhail Bakhtin sebagai “carnival”: keramaian bersama dengan rasa riang yang berkobar, tawa yang melesat, di mana para peserta tak kenal lagi hierarki. Di antara mereka, tak ada pangkat dan jabatan. Semua ikut setara, menonton sekaligus ditonton. Tak ada aturan, bahkan aturan agama. Perbuatan lucu, menyimpang dari tata, ada di tiap sudut, Di samping carnivalnya sendiri, ada prosesi macam-macam yang jenaka, misalnya pesta pandir (festa stultorum) dan risus paschalis (ketawa paskah).
Manusia butuh tertawa dan bisa merangsang tertawa — dan mungkin itu yang akan membedakannya dari kecerdasan buatan.
Sebab itu kita patut memberi hormat kepada para badut, dan tak lagi memakai kata itu sebagai cemooh. Shakespeare datang dari sejarah yang lain ketika ia menyebut si pelawak dalam balairung Raja Lear “The Fool”. Para badut menampilkan wajah dan tubuh mereka dengan buruk — juga “celaka” mereka — agar orang terhibur. Tauladannya adalah Charlie Chaplin. Mereka yang mengatasi gelatofobia adalah pahlawan — setidaknya orang yang bersedekah.
Goenawan Mohamad. ***