DECEMBER 9, 2022
Kolom

Binoto Nadapdap: Penghargaan Memperingati Seabad Kelahiran Bapak Antropologi Indonesia, Koentjaraningrat

image
Koentjaraningrat dan karyanya.

ORBITINDONESIA.COM - Bagi seorang  pendidik (dosen) di perguruan tinggi, salah satu bentuk penghormatan atas pengabdiannya setelah bekerja selama sekian tahun adalah diwujudkan dalam bentuk penerbitan buku oleh kalangan kampus.

Buku tersebut dipersembahkan oleh kolega, baik itu sesama dosen, teman sejawat, sahabat dari dalam dan luar negeri, dan tentu saja bekas murid-muridnya. Biasanya pemberian kado berupa buku diberikan kepada sang dosen ketika dosen memasuki usia 70 tahun.

Apakah soal penghargaan terhadap dosen yang sudah berusia 70 tahun memang mengadopsi kebiasaan yang berlaku di kalangan agamawan, atau memang kebiasaan tersebut merupakan khas Indonesia saya tidak mempunyai referensi untuk itu.

Baca Juga: Diskusi Satupena, Yudi Latif: Perlu Transformasi dari Charity ke Praktik Filantropi yang Lebih Akuntabel dan Profesional

Selain untuk dosen yang sudah berusia 70 tahun adalah juga juga buku yang dipersembahan pada saat sang dosen baru mencapai usia 65 (enam puluh lima) tahun. Namun ada juga penghargaan terhadap dosen yang berusia 65 tahun.

Namun penghargaan berupa buku kepada tidak pada saat masih berusia 65 tahun tidak begitu sering ditemukan dalam kehidupan perguruan tinggi di sini. Kalaupun pernah dilakukan pada usia 65 tahun ini, merupakan suatu pengecualian dan tidak sering dilakukan. Acara penyerahan  buku yang merupakan penghargaan kepada sang dosen sekaligus ditandai dengan pengucapan purna bakti dari sang guru besar.

Bagi mahasiswa yang belajar ilmu sosial  tahun 1960-an sampai dengan paling tidak akhir tahun 2000-an, sosok Koentjaraningrat (panggilannya adalah pak Koen) begitu dikenal luas. Sejumlah karya beliau dengan mudah dapat ditemukan di sejumlah perpustakaan perguruan tinggi mapun toko buku.

Baca Juga: Puluhan Buku Karya Anggota Satupena Sumatra Barat dan Penulis Luar Negeri Bakal Diluncurkan di IMLF-2, Mei 2024

Selain itu sejumlah karyanya juga menghiasi sejumlah perguruan tinggi di luar negeri, baik itu yang ditulis dalam Bahasa Indonesia, maupun yang ditulis dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Belanda.

Prof. Koentjaraningrat merupakan pendiri jurusan antropologi di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jurusan Antropologi didirikan tahun 1957.

Pada saat didirikan, jurusan Antropologi menjadi bagian dari Fakultas Sastra Universitas  Indonesia (FSUI), yang sekarang berubah nama menjadi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI. Dalam perjalanannya kemudian, jurusan Antropologi menjadi bagian dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. 

Baca Juga: Catatan Bawah Tanah, Buku Kumpulan Sajak Fadjroel Rachman yang Ditulis Dalam Penjara Rezim Orde Baru

Prof. Koentjaraningrat, selain mendirikan jurusan Antropologi  di Universitas Indonesia tahun 1957,  juga berperan serta dalam pembukaan sejumlah jurusan Antropologi di berbagai universitas di wilayah Nusantara, Mulai dari Universitas Syah Kuala di Banda Aceh, Universitas Padjajaran di Bandung, Universitas Cenderawasih Jayapura, Universitas Hasanuddin Makassar, Udayana di Denpasar, Universitas Sam Ratulangi di Manado, dan lain-lain.

Selain dari membangun sejumlah jurusan Antropologi di berbagai universitas, Koentjaraningrat juga terlibat dalam pengkaderan sejumlah dosen untuk menjadi dosen jurusan di Antropologi yang baru didirikan. Ada banyak mahasiswa yang menyelesaikan tingkat sarjana muda di perguruan tinggi lain diberi kesempatan untuk menyelesaikan sarjana antropologinya di Universitas Indonesia.

Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana Antropologi, ada sejumlah sarjana Antropologi yang dikirim ke Belanda untuk menyelesaikan Pendidikan Master. Program ini dikenal dengan pencangkokan Indonesia Belanda. Selain mengirim mahasiswa belajar ke Belanda, ada juga yang dikirim ke Amerika Serikat dan  Australia.

Baca Juga: Manuel Kaisiepo tentang Buku Kebinekaan dan Kesetaraan Karya Tokoh Pluralisme Trisno S. Sutanto

Guna menunjang proses penyiapan tenaga pengajar di berbagai jurusan Antropologi, Koentjaraningrat mengusahakan bagi para mahasiswa untuk mendapatkan bea siswa. Penyiapan sumber daya di bidang pendidikan dan pengajaran di jurusan Antropologi betul-betul diusahakan dengan nyata.

Prof. Koen, menjalin kerja sama dengan berbagai pihak untuk mendukung mahasiswa untuk menyelesaikan Pendidikan master dan Doktor di bidang Antropologi, baik itu yang meneruskan kuliah pascasarjana di dalam maupun di luar negeri.

Hasil nyatanya adalah banyak mahasiswa hasil bimbingan dan didikannya Prof. Koen yang berhasil meraih jenjang pendidikan tertinggi (S3), baik itu yang berpromosi di Indonesia maupun di luar negeri. Dari sejumlah tenaga pengajar berhasil menyelesaikan pendidikan sampai dengan tahapan tertinggi, yaitu doktor di bidang Antropologi.

Baca Juga: Ali Afandi: KAI Dukung Kegiatan Mudik Asyik Baca Buku untuk Tingkatkan Literasi Masyarakat

Dari sekian banyak dosen yang berhasil meraih gelar doktor banyak juga anak didiknya yang berhasil meraih jabatan tertinggi di dunia pendidikan sebagai guru besar (Profesor).

Koentraningrat lahir tanggal 23 Mei 1923 di Yogyakarta, meninggal dunia tanggal 23 Maret 1999. Atas pengabdiannya  di bidang pembangunan Ilmu Antropologi, pada 1997 sejumlah kolega dan mantan mahasiswanya telah menerbikan buku dengan judul Corat-Coret Koentjaraningrat. Jika Prof. Koen masih hidup, dia genap berusia seabad pada 15 Juni 2023. 

Untuk memperingati satu abad Prof. Koen, sejumlah kolega menerbitkan buku dengan judul Seabad Koentjaraningrat (Bapak Antropologi Indonesia): Persembahan dan Kenangan. Buku itu terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berupa persembahan yang ditulis oleh delapan orang. Sedangkan bagian kedua berisi kenangan yang ditulis oleh 26 orang.

Baca Juga: Buku Adab di Atas Ilmu, Karya Penting Imam Nawawi Bagi Para Penuntut Ilmu

Yang menarik adalah bahwa yang memberi kenangan dalam buku ini ada isteri Prof. Koen (Stien Koentjaraningrat) dan putrinya Sita Damayanti. Buku tersebut dieditori oleh Frieda Amran, Iwan Meulia Pirous dan Diana Damayanti. Buku tersebut diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas, tahun 2023.

Penghargaan terhadap seorang ilmuwan di Indonesia pada saat berusia satu abad mungkin belum banyak dilakukan di Indonesia. Setelah sang guru besar menghadap sang PEMILIK KEHIDUPAN, tidak lagi banyak yang mengenangnya.

Buku penghargaan untuk peringatan satu abad ilmuwan barangkali perlu juga dikembangkan pada masa yang akan datang. Buku ini adalah buku kedua yang dipersembahan kepada Bapak Anropologi Indonesia.

Baca Juga: Jualan Kabah dan Kisah-kisah yang Terserak, Buku Benny Benke yang Menceritakan Perjalanan Anggota PPIH

Tanpa sengaja saya searching di salah satu situs yang menerbitkan jurnal. Di sana  saya temukan sebuah artikel dengan judul “Bibliography of Professor Koentjaraningrat Author(s): HARRY A. POEZE. Artikel tersebut diterbitkan dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 2001, Vol. 157, No. 2 (2001), pp. 247-270, artikel mana dapat terbit berdasarkan Kerjasama Brill dengan JSTOR to digitize, preserve and extend access to Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde.

Dari tulisan Harry A. Poeze, terlihat bahwa untuk judul karya Prof Koentjaraningrat dari 1954 sampai dengan 2000 ada sebanyak 25 halaman. Suatu karya yang tentu sangat luar biasa, di tengah saat itu sarana untuk menulis masih mempergunakan mesin tik manual. 

Saya bertanya dalam hati, kok bisa menghasilkan karya sebanyak itu? Mungkin jawabannya ada di Wikipedia. Setelah lulus dari Europeesche School, pada 1939 ia (Prof. Koentjaraningrat) melanjutkan sekolah ke MULO, lantas ke AMS-A (1942). Saat bersekolah di AMS-A (sekarang SMA Negeri 1 Yogyakarta) ia mulai mempelajari seni tari di Tejakusuman.

Baca Juga: Hendrajit: Pesan Terakhir Franz Kafka pada Sahabatnya Max Brod Tentang Pemusnahan Buku Karyanya

Selain itu, bersama dua sahabatnya, Koesnadi (fotografer) dan Rosihan Anwar (tokoh pers), Koentjaraningrat rajin menyambangi rumah seorang dokter keturunan Tionghoa untuk membaca; di antaranya adalah disertasi-disertasi tentang antropologi milik para pakar kenamaan.

Saat masih bersekolah di Sekolah Menengah Atas (SMA) sudah membaca disertasi. Tentu suatu hal yang luar yang sangat luar biasa pada saat itu dan juga untuk masa sekarang. Beda dengan cerita masa kini di tetangga sebelah. Ada semacam kepedihan mendalam, ketika salah seorang penguji mengemukakan kisahnya bahwa disertasi masih ada yang ditulis  dengan kadar rasa skripsi.

Alasannya adalah karena sumber bacaan untuk penulisannya adalah buku-buku yang terbit berpuluh tahun lampau. Sebetulnya sudah ketinggalan. Begitu rupanya Sebagian kisah kasih di dunia Pendidikan di negerinya si anu. Semoga tidak berlangsung lama-lama adanya.  

Baca Juga: Buku Alam Semesta Sebelum Adam Alaihissalam, Karya Unik Ali Muhammad Ash-Shallabi

Pisangan Baru Timur, 13 April 2024.

(Oleh: Binoto Nadapdap) ***

Sumber: WhatsApp grup Satupena

Berita Terkait