Akaha Taufan Aminudin: Dalam Lipatan Perut Yogyakarta
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Senin, 29 Agustus 2022 00:43 WIB
Peristiwa yang memprihatinkan itu bertolak-belakang dengan moralitas ajaran/ falsafah Jawa yang selama ini menjiwai kehidupan masyarakat Yogyakarta.
Puisi esai dalam antologi puisi Di Balik Lipatan Waktu (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) karya Genthong H.S.A. berjudul "Begjo, Pasir Melimpah Pasir Bertuah" mengangkat kisah Begjo si penambang pasir, penambang tanpa surat izin hitam di atas putih.
Ia mempunyai anak istri, yang setiap hari harus ia hidupi. Sekian lama Begjo dan kawan-kawan sedusun bekerja sebagai penambang pasir yang merupakan berkah dari letusan Gunung Merapi.
Sayangnya, kegiatan mereka dalam mengais rezeki pemberian alam ini terusik oleh kedatangan para penambang pasir ilegal yang menambang dengan peralatan berat. Mereka mengeduk dengan rakus, sehingga merusak lingkungan dan membuat penambangan pasir tak lagi aman.
Baca Juga: Hasil Liga Italia: AC Milan Bungkam Bologna 2 - 0 di San Siro
Puisi esai ini menguak ketidakadilan dan kerakusan manusia, terutama justru dari kalangan para ‘cukong’ yang mampu membayar para gali, yang dengan semena-mena melibas rakyat miskin di kaki Gunung Merapi.
Dengan gaya satir, Genthong mampu menguak sikap hidup dua golongan masyarakat yang berbeda.
Puisi esai dalam antologi puisi Di Balik Lipatan Waktu (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) karya Isti Nugroho berjudul "Pembayun." Puisi esai ini menampilkan tokoh imajiner Ayun, panggilan akrab Pembayun.
Ia perempuan, pewaris kerajaan bisnis orang tuanya. Di luar kesibukannya, Ayun memiliki ketertarikan pada bidang sejarah dan budaya. Dari kegemarannya mempelajari buku-buku sejarah, ia mengenal dua orang dengan nama Pembayun.
Tiga sosok Pembayun ini secara ‘ajaib’ memiliki kesamaan. Pembayun Senopati berperan mengekalkan kekuasaan ayahandanya; Pembayun putri Raja Yogya akan naik takhta; dan Ayun, tokoh imajiner akan memimpin perusahaan Samudra Hindia Raya, warisan orang tuanya.