Akaha Taufan Aminudin: Dalam Lipatan Perut Yogyakarta
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Senin, 29 Agustus 2022 00:43 WIB
Yogyakarta disebut sebagai daerah istimewa sebutan membanggakan untuk kota ini, antara lain Kota Budaya, Kota Seniman, Kota Gudeg, Kota Museum, Kota Batik, City of Tolerant, dan Kota Pendidikan.
Sayangnya hiruk-pikuk semua kegiatan tersebut tak selalu dimengerti oleh semua orang, bahkan oleh penduduk asli kota ini yang setiap hari melihat [bukan membaca] baliho dan spanduk-spanduk itu.
Sariyem, buruh gendong Pasar Beringharjo, lahir sebagai perempuan asli Kulon Progo. Pendidikan rendah Sariyem dan suaminya, bahkan menurun ke anak keturunannya, seolah kutukan abadi yang harus disandang bersama ratusan warga lain.
Hanya pasar Beringharjo yang secara historis dan filosofis tidak bisa dipisahkan dari Keraton Ngayogyakarta itu yang menjadi ‘sawah’ sekaligus masa depannya.
Baca Juga: Jadwal Liga 1: RANS Nusantara FC Lawan Barito Putera Disiarkan Layanan Streaming Vidio Senin Sore
Puisi esai dalam antologi puisi Di Balik Lipatan Waktu (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) karya Dhenok Kristianti berjudul Dalam Belitan Selendang (Tembang Megatruh untuk Sari), mengisahkan kebejatan moral dan kerusakan moral tentang berita-berita ‘kurang sedap’ yang terjadi di Yogyakarta.
Budaya adiluhung yang secara turun-temurun telah menjadi jiwa masyarakat tersebut, di zaman globalisasi ini mengalami banyak perubahan.
Nampaknya ‘gempuran’ modernisasi mengubah pola perilaku masyarakatnya, sehingga pada tahun-tahun terakhir (2013 hingga 2017) Yogyakarta dikabarkan menjadi ‘surga’ aborsi, menduduki peringkat teratas dalam penyalahgunaan narkoba, dan perilaku ‘kumpul kebo’ marak di rumah-rumah kos mahasiswa.
Pada 5 September 2017 yang lalu, misalnya, masyarakat Yogyakarta kembali digemparkan oleh berita pengguguran bayi yang dilakukan seorang mahasiswi di kamar kos dan bayinya dimasukkan ke dalam almari.
Baca Juga: Jadwal Liga 1: Dewa United Melawan PSIS Semarang Disiarkan Indosiar dan Vidio Senin Sore