Buya Syakur mengajak kita untuk berpikir bahwa fikih tidak turun dari langit secara langsung. Tapi fikih hadir melalui proses dinamika kehidupan bangsa Arab yang panjang secara kultural.
Karena itu, jika kita membahas fikih Islam, pendekatan kultural bangsa Arab tidak bisa diabaikan begitu saja.
Kitab-kitab fikih yang ada sekarang, yang kini jadi panutan umat Islam Indonesia -- berasal dari empat Mazhab: Syafi'i, Maliki, Hanafi, dan Hambali -- semuanya bersumber dari Al-Qur'an dan hadist dengan perspektif tafsir kultural Arab.
Baca Juga: Lowongan Kerja Terbaru 2022, di Bank Indonesia Butuh Manajer Ahli Fikih Islam
Kondisi kultural inilah yang kemudian mengkonstruksi fikih Islam tentang hukum poligami, ketaatan mutlak istri terhadap suami, dan subordinasi kaum perempuan di hadapan kaum lelaki.
Yang menarik, Buya Syakur dalam membahas fikih gender, landasannya adalah kehidupan sehari-hari umat Islam di Indonesia. Ketika membahas hukum waris, misalnya, Buya mempertanyakan, kenapa bagian anak perempuan separuh dari anak lelaki?
Di Indonesia, terutama di Jawa, ujar Buya Syakur, yang paling banyak perannya dalam kehidupan keluarga adalah anak perempuan.
Baca Juga: PBB Kecam Taliban Lakukan Apartheid Gender Terhadap Kaum Perempuan di Afganistan
Di kampung, sejak anak-anak, perempuan sudah membantu orang tuanya dalam urusan domestik seperti mencuci pakaian, menanak nasi, memasak, dan mengasuh adik-adiknya. Hampir semua urusan domestik dilakukan anak perempuan.
Bahkan ketika anak perempuan itu jadi tenaga kerja wanita (TKW) atau buruh migran, ia rajin mengirim uang untuk orang tuanya di kampung.
Tidak sedikit, TKW itu menabung, hasilnya diserahkan kepada orangtuanya untuk merenovasi rumah yang ditempati ibu dan bapaknya.
Baca Juga: Apakah Makna Genderang Kebebasan dan Kebangkitan Gear 5 Luffy di Anime One Piece Episode 1071
Tapi ketika orang tuanya meninggal, berdasarkan fikih Islam, anak perempuan hanya dapat bagian harta waris separuh dari anak lelaki. Lalu, di mana rasa keadilannya -- tanya Buya Syakur.