Dr Abdul Aziz: Buya Syakur dan Reformasi Mazhab
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Minggu, 21 Januari 2024 08:20 WIB
Oleh: Dr. Abdul Aziz, M.Ag., Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said, Surakarta
ORBITINDONESIA.COM - Inna lilahi wa inna ilaihi raji'un. KH. Syakur Yasin, M.A., ulama yang mencerahkan telah meninggalkan kita semua. Rabu, 17 Januari 2024) di Cirebon.
Buya Syakur, panggilan akrab ulama kharismatik ini, wafat dalam usia 75 tahun di RS Mitra Keluarga, Plumbon, Cirebon.
Baca Juga: Syaefudin Simon: Buya Syafii dalam Kahar Muzakir dan Kahar Muzakar
Kepergian Buya meninggalkan legacy yang sangat berharga kepada bangsa Indonesia. Yaitu: studi Islam komprehensif yang membuka mata umat.
Dalam ceramah dan pengajiannya yang ditayangkankan kanal YouTube TV Wamimma, Buya Syakur membuka kesadaran umat untuk mempertanyakan kembali Keislamannya. Betulkah Islam yang kini kita jalani sudah sesuai dengan ajaran Rasul Muhammad?
Pertanyaan Buya Syakur ini cukup menghentak. Sebabnya, Buya Syakur melihat Islam sebagai agama yang dinamis, yang mengikuti zaman. Bukan agama dogma yang berhenti di "tikungan tertentu" sehingga ketinggalan "kereta zaman" yang terus berubah.
Baca Juga: DR HM Amir Uskara: Buya Syafii dan Mbah Moen
Islam, kata Buya Syakur, telah ditelikung fikih, sehingga banyak persoalan umat dalam menghadapi dunia modern ujungnya terjerembab pada kaidah-kaidah irasional yang bersumber dari dogma-dogma kultural Arabiyah.
Secara khusus, Buya Syakur mempersoalkan "pemazhaban" fikih yang kini membelenggu umat Islam. Buya Syakur mempertanyakan apa itu Ahlus Sunah Wal Jamaah?
Benarkah hanya pengikut Ahlus Sunnah waljamaah yang berhak masuk sorga? Lucunya, belakangan mitologi Ahlus Sunnah itu, makin kuat, karena ada campur tangan politik di beberapa negara "Islam".
Baca Juga: Perkumpulan Penulis Satupena Akan Diskusikan Pemikiran Islam Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafii
Sedemikian besarkah pengaruh Ahlu Sunnah Waljamaah dalam masyarakat Islam sehingga hukum-hukum kehidupan modern diframing dalam empat Mazhab -- Maliki, Syafii, Hanafi, dan Hambali?