Dr HM Amir Uskara: Kebijakan Ekonomi Populis dan Mental Pengemis
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Kamis, 16 November 2023 23:38 WIB
Oleh: Dr. H.M. Amir Uskara, Pengamat Ekonomi/Wakil Ketua Komisi XI DPR RI
Di periode pertama masa pemerintahannya, 2014-2019, Presiden Joko Widodo menempuh kebijakan ekonomi yang tidak populis.
Ini bersebrangan dengan masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) yang sejak awal, 2004, menempuh kebijakan ekonomi populis.
Di tahun pertama pemerintahannya, 2004, misalnya, SBY menerapkan kebijakan bantuan langsung tunai (BLT), untuk mengantisipasi kenaikan harga BBM dan sembako. Saat itu, program BLT SBY dikritik keras Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Ketum PDIP, Megawati Soekarnoputri menyatakan, BLT melahirkan mental pengemis. Joko Widodo, saat itu kader militan PDIP, mengatakan hal yang sama: kebijakan BLT tidak mendidik rakyat untuk bekerja keras dan mandiri.
"Program BLT SBY hanya menghambur-hamburkan uang. Memangnya pemerintah RI adalah Santa Claus," kritik pedas Megawati saat itu.
Santa Claus atau Sinterklas adalah dongeng tokoh legenda dari Yunani, yang membagi-bagikan uang atau hadiah kepada anak-anak saat Hari Natal.
Selama masa pemerintahannya (2004-2014), misalnya, SBY pernah tiga kali "menurunkan" harga minyak. Tentu saja, penurunan harga BBM itu, dikompensasi dengan subsidi minyak yang membengkak.
Di samping itu, untuk meringankan beban ekonomi masyarakat, SBY pun menggelontorkan BLT (bantuan langsung tunai). Di era SBY, kebijakan ekonomi populis banyak ragamnya dan menyedot anggaran yang besar.
Baca Juga: Hasil Piala Dunia U17 2023: Uzbekistan Secara Mengejutkan Mampu Tahan Imbang Spanyol di Matchday 3
Kebijakan SBY tersebut, mendapat kritikan dari Presiden Jokowi di awal pemerintahannya. Jokowi menyatakan, subsidi harga BBM seperti membakar uang. Dampaknya sangat buruk bagi perekomian Indonesia.
Jokowi berani mengubah kebijakan pemerintahan SBY sebelumnya, yaitu mengurangi subsidi harga BBM. Ketimbang untuk mensubsidi BBM, lebih baik untuk membangun infrastruktur, ujar Jokowi.
Jokowi pun di tahun pertama pemerintahannya, menjalankan kebijakan tidak populis, menaikkan harga BBM -- yang artinya mengurangi subsidi minyak. Presiden Jokowi menjelaskan alasan menaikkan harga BBM: agar subsidi yang diberikan pemerintah lebih tepat sasaran.
“Lebih dari 70 persen subsidi justru dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu, yaitu pemilik mobil-mobil pribadi. Mestinya, uang negara itu harus diprioritaskan untuk memberikan subsidi kepada masyarakat yang kurang mampu,” kata Jokowi.
Benar di periode pertama sampai jelang akhir periode kedua masa pemerintahannya, pembangunan infrastrukur berjalan massif di hampir seluruh pelosok Indonesia. Tak hanya jalan raya dan tol. Tapi juga rumah sakit, kereta api, bendungan, dan lain-lain.
Rakyat pun puas terhadap kinerja Presiden Jokowi dalam pembangunan infrastruktur tersebut. Sebagian dana untuk pembangunan infrastruktur tadi berasal dari pengurangan subsidi harga BBM tadi.
Tapi menjelang akhir pemerintahannya, ternyata Jokowi mengikuti kebijakan ekonomi populis era SBY.
Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono sempat "menyindir" Jokowi. Kata AHY, dulu mengritik program subsidi ekonomi rakyat dan BLT dari SBY, sekarang menirunya, bahkan dengan skala yang lebih besar. Ini artinya, ujar AHY, Jokowi menganggap kebijakan ekonomi populis SBY terbukti baik untuk rakyat.
Apa yang dikatakan AHY tak bisa ditepis rejim Jokowi. Di akhir tahun 2023, misalnya, pemerintah menaikkan subsidi (bantuan konversi motor bensin ke motor listrik) dari Rp 7 juta menjadi Rp 10 juta.
Langkah ini ditempuh sebagai jalan mengerek populasi kendaraan listrik yang masih ngadat, kendati banyak pula yang meragukan efektivitasnya.
Sebelumnya, masih di tahun 2023, pemerintah juga merilis subsidi pajak pembelian rumah di bawah Rp 2 miliar yang digadang gadang bisa menggairahkan ekonomi secara lebih luas.
Sebab bisnis perumahan bukan dinikmati para developer properti saja, melainkan ada 28 sektor industri lain penopang bisnis properti yang turut menikmati efek diskon pajak tersebut. Belum lama berselang pula, pembagian 10 kilogram beras gratis kepada sekitar 22 juta kepala keluarga diperpanjang hingga Juni 2024.
Baca Juga: MENEGANGKAN, Video Warga Coba Menolong Pilot tapi Pesawat Super Tucano TNI AU Tiba-tiba Meledak
Di samping itu, masih ada subsidi energi, program Prakerja, pemberian daging dan telur, hingga pembagian set top box dan rice cooker gratis.
Total dana yang dikeluarkan untuk berbagai program itu kurang lebih Rp 500 triliun atau sekitar 17 persen dari total bujet negara tahun ini. Nilai tersebut setara sekitar 2,5 kali dari belanja modal pemerintah (Noe, 2023).
Jumlah subsidi tersebut jelas sangat besar -- di luar kebiasaan Presiden Jokowi yang lebih mementingkan dana untuk pembangunan infrastruktur ketimbang subsidi langsung kepada rakyat.
Program subsidi yang gigantik tahun 2023 ini -- terlepas dari kritik nyinyir sebagai kamuflase kampanye Pemilu dan Pilpres 2024 untuk partai dan capres yang didukung Presiden Jokowi -- jelas akan menggairahkan ekonomi yang lesu pasca pandemi Covid-19.
Baca Juga: Dua Orang Tewas Akibat Pesawat Super Tucano TNI AU Jatuh di Lereng Gunung Bromo
Program bagi-bagi duit -- pinjam istilah Barly Haliem Noe, wartawan harian Kontan -- untuk sementara punya efek menenangkan rakyat dari stres akibat keterpurukan ekonomi. Tapi seberapa lama dampak "obat penenang" tersebut kepada pasien yang menderita gangguan jiwa akut?
Di situlah soalnya. Kebijakan populis, di mana pun, cenderung berdampak negatif. Contoh paling ekstrim, bangkrutnya Venezuela di bawah Presiden Hugo Chavez dan Nicolac Maduro, akibat kebijakan ekonomi populis.
Tahun 2016, ketika harga BBM turun, ekonomi Venezuela yang 95 persen ditopang ekspor minyak, bangkrut. Uang hasil minyak selama ini dipakai untuk berbagai macam subsidi kebutuhan rakyat, agar mereka senang. Ketika harga minyak anjlog, uang pun habis.
Dulu Megawati dan Jokowi mengkritik kebijakan ekonomi populis SBY sebagai program pengerdilan mental rakyat. Kebijakan bakar uang. Kebijakan BLT akan menjadikan rakyat bermental pengemis. Dampaknya rakyat tidak kreatif. Ekonomi tergerus subsidi.
Bagaimana sekarang? Kebijakan SBY yang populis dulu, ternyata dilakukan pula oleh Jokowi. Akankah kebijakan populis itu berdampak sama, menjadikan rakyat bermental pengemis?
Jawabnya: wait and see. Pinjam lagunya Ebiet G. Ade, tanyakan kepada rumput yang bergoyang.***