DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Bersihar Lubis: Beda Capres Tak Perlu Galau

image
Tiga bakal capres yang menonjol: Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Anies Baswedan.

ORBITINDONESIA.COM - Merakyat itu baik. Mengasingkan diri di menara gading buruk. Melontarkan gagasan tentang masa depan bangsa baik. Melontarkan intrik, agitasi dan fitnah buruk.
 
Tapi apakah keadilan itu? Banyak kepala dan mulut, banyak pula jawabannya. Bahwa itu bus kota, dan yang sana kantor pos, orang akan cepat sekata.
 
Jika merunut pendapat Sidney Hook, seorang filsuf Amerika yang datang ke Jakarta pada 1971 dan berdiskusi dengan sejumlah intelektual Indonesia, barangkali yang dibutuhkankan adalah intelligence choice, pilihan yang cerdas.
 
 
Memang, kecerdasan tak menjamin selalu yang terbaik. Korupsi dengan mencari kelemahan sistem adalah kecerdasan. Tapi si koruptor telah merugikan negara dan kepentingan umum. Terancam masuk bui. Pintar tapi jahat.
 
Sekarang mari mengancik ke dunia politik. Memburuk-burukkan lawan politik itu cerdas, bisa memengaruhi persepsi publik. Tapi pasti lebih baik tidak membunuh karakternya. Lebih baik mengalahkan musuh tanpa berbuat curang.
 
Kerap sekali politik itu dihadapkan kepada dilema. Cara dan tujuan kadang tak sejalan. Agar kompetitor kehilangan pamor, musuh harus di-downgrade – diturunkan kelasnya.
 
Tapi bukankah masih bisa bersaing dengan jujur, sehingga musuh merasa pantas kalah dan dikalahkan?
 
 
Mengapa harus menggunakan cara-cara busuk dan unfair terhadap musuh hanya karena beda partai politik dan beda Calon Presiden?
 
Sementara terhadap parpol dan Calon Presiden yang didukung banjir puja-puji. Kultus individu merebak. Kaulah bulan kaulah bintang. Sangat-sangat bucin (budak cinta). Nalar macet, dipensiunkan.
 
Bertarung dengan pesaing ibarat “perang iklan.” Tengoklah Aqua bersaing dengan Le Minerale dengan cara-cara yang kreatif. Tidak perlu saling menjelek-jelekkan. Tapi saling menunjukkan kehebatan dan kelebihan masing-masing tanpa membodohi publik.
 
Beradu menciptakan adegan yang menghibur dan menyenangkan hati publik. Terserah konsumen lah menentukan pilihannya, dengan bebas tanpa merasa tertipu.
 
 
Partai politik memang majemuk. Calon presidennya pun berbeda. Tak perlu risau dan galau. Ada yang memilih parpol A, ada yang memilih parpol B, dan seterusnya. Ada yang mendukung Capres Anu, tapi ada yang menyokong Capres Polan dan seterusnya.
 
Itulah kehidupan demokrasi. Tidak seperti negara totaliter yang seragam dan mengharamkan perbedaan. Berbeda itu indah, seperti beragam bunga-bunga di taman.
 
Tanpa perlu satu parpol, satu Calon Presiden, orang harus hidup bersama di sebuah negara. Anda harus hidup berdampingan secara damai dengan seseorang walau beda parpol dan calon presiden.
 
Bahkan, yang satu parpol, khususnya bagi calon anggota legislatif (caleg), juga bersaing satu sama lain. Bukan hanya bersaing dengan caleg dari parpol berbeda. Tapi tetap harus kompak. Tak main sikut.
 
 
Dua Suami
Syukurnya, bangsa Indonesia beragama dan bertuhan. Ada Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dalam Pancasila. Kehebatan agama-agama adalah menyumbangkan kepada dunia sebuah ajaran kasih sayang terhadap sesama manusia.
 
Etika keagamaan akan membuat perbedaan setajam apapun berakhir dengan damai. Terbukti di Madinah terwujudlah Madinatul Munawarah, Madinah Charter di masa silam memungkinkan masyarakat berbagai agama. Muslim, Masehi dan Yahudi hidup rukun.
 
Jangankan etika kegamaan, bahkan yang lebih rendah lagi, yakni etika sekuler pun memungkinkan perdamaian. Rusia dan China yang negara komunis toh bisa berdamai dengan Negara kapitalis yang liberal seperti AS dan Eropa. Meski ada pasang surutnya.
 
Merampok duit penjual bakso dengan gerobak berjalan jelas salah karena melanggar perintah Tuhan. Tapi orang atheis juga menganggapnya salah, karena mengapa orang merampok yang bukan haknya? Seperti tikus yang menggerogoti lumbung padi padahal tak pernah bertani.
 
 
Etika keagamaan sesungguhnya sangat cerdas. Penuh dengan akal sehat. Sangat sekular. Tentu saja, antara sekularisme dan sekular suatu hal yang beda jauh.
 
Sekularisme adalah paham yang menomor satukan akal sehat belaka dan mengenyampingkan Tuhan. Tapi sekular saja oke, karena agama memang hanya untuk orang yang berakal (sekular).
 
Agaknya, silaturahmi seraya diskusi dan dialog sangat diperlukan dalam memakai akal kecerdasan. Orang diajak berasumsi bahwa, “barangkali saya salah.” Sangat berbahaya jika seseorang terlalu percaya bahwa ia memiliki kebenaran absolut sehingga tak mau mendengarkan orang lain. Padahal kita perlu belajar mendengar orang lain agar kita juga didengar.
 
Kita sumringah melihat tokoh PDIP Puan Maharani dan petinggi Demokrat AHY bersilaturahmi beberapa waktu lalu. Juga menyaksikan di televisi betapa Presiden Jokowi makan sore dengan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh, setelah sekian lama “berjarak.” Membuat iklim politik sejuk.
 
 
Jika Anda anggota atau simpatisan sebuah parpol, tapi dikalahkan parpol lain dalam Pemilu yang jujur dan adil, tak perlu berang. Tak perlu mencari kambing hitam. Jangan lantai disalahkan padahal parpol Anda yang tak pintar menari.
 
Begitu juga jika Calon Presiden yang Anda dukung kalah, tak perlu menciptakan polarisasi, pembelahan masyarakat. Presiden terpilih itu toh presiden Anda juga. Bukan hanya presiden bagi para pendukungnya.
 
Presiden hanya satu. Mustahil dua presiden, bagai kapal dengan dua nakhoda. Ibarat istri dan anak mempunyai suami dan ayah dua orang sekaligus. Alamat rumah tangga akan kocar kacir.
 
Pendek kata, gunakanlah, intelligence choice, pilihan yang cerdas disertai etika keagamaan. Tabik!
 
(Opini di Harian Analisa, Selasa 25 Juloi 2023)
* Penulis adalah jurnalis di Medan. ***

Berita Terkait