Dr KH Amidhan Shaberah: Hijrah dan HAM
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 21 Juli 2023 00:53 WIB
Sejak itu, orang-orang Mekah memberi julukan Muhammad dengan sebutan Al-Amin, yaitu orang yang dapat dipercaya. Muhammad muda menjadi orang terhormat dan mulia karena bisa mendamaikan perseteruan tersebut.
Tapi setelah Muhammad mendeklarasikan diri sebagai Rasulullah dan mengaku mendapat wahyu dari Allah, perselisihan pun kembali mencuat. Ada orang Quraisy yang percaya, ada yang menolaknya.
Saat Nabi Hijrah, sebagian besar pemimpin Arab -- termasuk suku Quraisy, menolak kerasulan Muhammad. Di antaranya Abu Sufyan bin Harb dan Amr bin Hisyam (Abu Jahal) yang saat itu menjadi pembesar Quraisy yang sangat berpengaruh di kota Mekah.
Dalam situasi tidak kondusif seperti itulah, Nabi memutuskan hijrah ke kota Madinah.
Kembali ke "Chiefdom" Madinah. Meskipun administrasi Chiefdom -- pinjam catatan disertasi Dr. Abdul Aziz -- masih bertumpu pada sosok Muhammad -- tapi pembagian kerja secara profesional dan meritokratis sudah mulai diterapkan.
Bahkan dalam memutuskan perkara di Chiefdom Madinah, Nabi Muhammad menerapkan konsep musyawarah seperti tercantum dalam Qur'an (As-Syura 38). Dalam musyawarah, suatu keputusan diambil berdasarkan kata mufakat dari beberapa orang.
Orang-orang beriman, berdasarkan surat As-Syura 38, dalam memutuskan urusan mereka, harus dengan musyawarah. Atau berunding di antara mereka. Konsep musyawarah, menurut Prof. Munawir Sjadzali adalah cikal bakal demokrasi modern.
Dari perspektif inilah, Hijrah Nabi Muhammad ke tanah peradaban Madinah berhasil menumbuhkan benih-benih demokrasi. Dan demokrasi adalah lahan subur untuk pertumbuhan HAM.