Fadli Zon: Refleksi HUT 50 HKTI, Petani Adalah Kunci Kemakmuran Negeri
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 28 April 2023 13:40 WIB
Oleh: Fadli Zon, Ketua Umum DPN HKTI, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra
Hari ini, 27 April 2023, HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) berulang tahun ke-50. Organisasi yang didirikan pada 27 April 1973 di Jakarta ini merupakan hasil fusi dari empat belas organisasi tani yang ada di Indonesia pada saat itu.
Dengan usia setengah abad hari ini, HKTI merupakan organisasi tani tertua di tanah air, sekaligus organisasi tani tertua yang tercatat pernah ada.
Sejak awal pendiriannya, HKTI dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, serta mendorong sektor pertanian sebagai basis pembangunan nasional.
Baca Juga: Imam Shamsi Ali: Memaknai keberkahan Ramadan dan Keistimewaan Al Quran
Di usia pergerakannya yang persis setengah abad ini, HKTI ingin terus menunjukkan komitmennya untuk tidak pernah berhenti menyuarakan aspirasi petani Indonesia.
Sebab, meskipun petani sering dipuji sebagai tulang punggung perekonomian kita, namun nyatanya tingkat lesejahteraan petani kita masih sangat rendah.
Dalam sepuluh tahun terakhir, misalnya, baru pada tahun 2022 lalu Nilai Tukar Petani (NTP) bisa melampaui NTP tahun 2013. Sebagai catatan, pada 2013 NTP ada di angka 104,92, sementara pada 2022 lalu NTP ada di angka 107,33.
Artinya, dalam rentang 10 tahun terakhir, kecuali pada 2022 silam, level kesejahteraan petani kita konsisten berada di bawah level tahun 2013. Ini tentu saja menjadi kenyataan memprihatinkan.
Baca Juga: Bioskop Trans TV: Before I Fall, Dimana Kesalahan yang Ditebus harus Diperbaiki Lewan Mesin Waktu
Untuk meningkatkan kesejahteraan petani, kita perlu mendorong para petani bisa menciptakan nilai tambah. Namun, sebelum itu dilakukan, kebutuhan sarana dan prasarana pertanian untuk para petani harus tercukupi terlebih dahulu.
Nilai tambah memang merupakan isu utama kesejahteraan petani. Dari sisi produksi, petani kita ke depan tak boleh hanya mengerjakan pertanian di level on farm saja, namun harus juga menguasai off farm.
Sementara, dari sisi sumber daya manusia, petani kita juga harus mampu mengembangkan diri menjadi seorang entrepreneur dalam bidang agribisnis.
Selama ini kita memang luput membangun para entrepreneur, karena pemerintah kita lebih suka menggantungkan motor pembangunan di tangan para konglomerat.
Baca Juga: Sambut KTT ASEAN Ke-42, Fasilitas Penunjang di Kawasan Labuan Bajo Ditingkatkan
Padahal, kalau kita belajar dari pengalaman Korea Selatan, yang berhasil mentranformasi petaninya menjadi entrepreneur, para petani kita mungkin bisa semaju Korea Selatan.
Ya, sekira enam puluh tahun lalu, sebagaimana halnya Indonesia, mayoritas masyarakat Korea Selatan juga berprofesi sebagai petani (farmer).
Bedanya, para petani Korea kini sudah berhasil bertransformasi menjadi agripreneur, bahkan entrepreneur, sementara mayoritas masyarakat kita masih saja bertahan menjadi farmer.
Banyak orang mungkin sudah lupa, Samsung yang kini identik dengan teknologi tinggi, memulai usaha mereka dari sebuah pabrik penggilingan padi dan perdagangan sayuran. Sebagai bangsa kita telah alpa. Saat orang lain terus-menerus bertransformasi, kita justru berhenti ber-evolusi.
Baca Juga: Bekas Wakil Rektor Heryandi dan Ketua Senat M Basri Unila Dituntut 5 Tahun Penjara
Persoalan inilah yang mestinya mendorong kita menerima gagasan pentingnya mentransformasikan petani kita menjadi seorang entrepreneur, atau tepatnya seorang agripreneur.
Jika kita berhasil mentranformasi petani menjadi pengusaha, maka kita tinggal selangkah lagi bisa menciptakan Samsung versi Indonesia, Hyundai versi Indonesia, atau LG versi Indonesia.
Entrepreneur adalah pencipta kekayaan melalui inovasi. Posisi entrepreneur jauh lebih strategis ketimbang pemilikan kekayaan alam.
Sudah terbukti, bangsa yang minim kekayaan alam, namun memiliki jumlah entrepreneur yang besar, bisa tumbuh menjadi negara industri maju. Bayangkan jika kita bisa mengawinkan kekayaan alam melimpah dengan jumlah entrepreneur yang besar.
Pentingnya transformasi petani menjadi entrepreneur ini memang mendesak dilakukan. Pertanian pada masa yang akan datang akan mengalami berbagai tekanan berat, selain tekanan demografi, pertanian juga kian mendapat tekanan dari perubahan iklim, perubahan pola pengusahaan dan budidaya, konversi lahan dan masalah-masalah sejenisnya.
Itu sebabnya pembangunan ekonomi kita ke depan harus lebih memperhatikan manusia petani dan tranformasi petani menjadi entrepreneur. Meminjam pepatah Polandia, ”jika petani miskin, maka seluruh negeri juga akan jatuh miskin”.
Jika Indonesia tak ingin menjadi bangsa paria, maka yang pertama-tama harus ditolong adalah para petani kita. Petani adalah kunci kemakmuran negeri!
Dirgahayu HKTI! ***