Beragama Tanpa Ulama, Pendeta, dan Bhikkhu; Mungkinkah?
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Rabu, 22 Maret 2023 07:33 WIB
-000-
Sayapun menganalisis dan menelusuri data. Di tahap ini, ajaran apapun dari agama, dan dari agama manapun, saya lihat sebagai konstruksi sosial.
Maka sampailah saya pada pertanyaan. Kondisi sosial bagaimana yang memerlukan peran ulama, pendeta dan bhikkhu? Serta konteks masyarakat yang bagaimana pula yang membuat peran ulama, pendeta dan biksu itu bisa tak lagi diperlukan?
Dua saja data yang saya cari: prosentase buta huruf dalam sejarah, dari abad ke abad. Dan teknologi tinggi untuk menggandakan serta menyebarkan informasi.
Ternyata sampai dengan abad 14, jumlah penduduk dunia yang bisa membaca dan menulis hanya 10 persen saja. Sebanyak 90 persen warga dunia kala itu masih buta huruf.
Bahkan di era kerajaan Roma sebelum kelahiran Nabi Isa (Yesus Kristus), yang bisa membaca dan menulis hanya 3 persen penduduk saja.
Mesin cetak pun baru ditemukan Guttenbergh di tahun 1450. Sebelum ada mesin cetak, setiap kitab suci atau buku hanya disalin tangan. Peredaran kitab suci dan buku akibatnya sangat, sangat dan sangatlah terbatas.
Jika itu konteks sosialnya, sampai abad ke-14, mayoritas warga, tak punya akses kepada kitab suci dan buku penting. Kopi kitab suci dan buku pengetahuan tak pula tersedia luas.
Dalam konteks seperti ini, peran ulama, pendeta dan bhikkhu menjadi sentral dan maha penting. Hanya kelas ini yang memperoleh akses dan bisa memahami kitab suci dan buku pengetahuan.
Tanpa peran ulama, pendeta, dan bhikkhu, mayoritas publik yang tak bisa membaca tak bisa memperoleh pencerahan dari pesan-pesan agama dan pengetahuan.