Waduh, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Minta KPU RI Tunda Pemilu 2024!
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Kamis, 02 Maret 2023 17:29 WIB
ORBITINDONESIA.COM- Belakangan isu penundaan Pemilu 2024 terus bergulir.
Bahkan terbaru Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) sudah meminta KPU RI menunda Pemilu 2024.
Lantas bagaimana tanggapan pakar terkait fenomena penundaan Pemilu 2024?
Baca Juga: BRI Liga 1: Persita Tangerang Melawan PSS Sleman, Pendekar Cisadane Sukses Raih Tiga Angka
Seperti diketahui, PN Jakarta Pusat telah memutuskan agar KPU RI menunda Pemilu 2024, buntut gugatan dari Partai Prima.
Gugatan Partai Prima berkaitan dengan verifikasi partai politiK
Gugatan dilayangkan Partai Prima pada 8 Desember 2022 lalu dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst.
Baca Juga: Bikin Terharu, Kemensos Mendampingi Anak Korban Kekerasan Seksual di Bojonegoro
Kini PN Jakpus pun menghukum KPU untuk menunda Pemilu hingga Juli 2025.
Gugatan perdata kepada KPU yang diketok pada Kamis, 2 Maret 2023.
Di sisi lain, upaya penundaan Pemilu 2024 juga bergulir dari Mahkamah Konstitusi.
Baca Juga: Emosi! Jokowi Akhirnya Soroti Kasus Pejabat Pajak Bergaya Hidup Mewah: Pantas Rakyat Kecewa!
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menegaskan tidak ada alasan menunda Pemilu 2024.
Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan sistem pemilu yang saat ini sedang diuji menjadi instrumen untuk menunda Pemilihan Umum 2024.
"Penundaan pemilu dengan alasan butuh waktu adaptasi pemberlakuan sistem proporsional tertutup," katanya dikutip dari Antara.
"Saya berpandangan tidak ada alasan untuk itu," kata Titi Anggraini yang juga pengajar pemilu pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini sedang melakukan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terhadap UUD NRI Tahun 1945, khusus terkait dengan sistem pemilu.
Dalam beberapa putusan pengujian UU Pemilu, menurut Titi, memang tidak serta-merta memberlakukan putusannya untuk pemilu yang sedang berjalan.
Misalnya, Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 terkait pemilu serentak untuk memilih anggota legislatif dan presiden/wakil presiden, baru berlaku setelah Pemilu 2014.
Baca juga: MK menunda sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Pemilu
Pegiat pemilu ini menegaskan bahwa MK tidak punya dasar konstitusional untuk memutus dengan langgam seperti itu.
Apalagi, Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 menyebut pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
"Mestinya MK konsisten dengan ketentuan konstitusi tersebut," kata Titi yang pernah sebagai Direktur Eksekutif Perludem.
Ia menekankan bahwa semua pihak mestinya mendukung MK untuk menjaga kemandirian dan kemerdekaannya dalam memutus perkara.
Serta tidak mengganggu konsolidasi dan stabilitas penyelenggaraan Pemilu 2024 yang sudah berjalan masuk pada fase krusial.
Di lain pihak, dosen FH UI itu memandang perlu mengevaluasi sistem pemilu pada Pemilihan Umum Anggota DPR.
Serta pemilu anggota DPRD sehingga pelaksanaannya lebih baik dan bisa mengurai kerumitan yang ada.
Namun, lanjut Titik, itu sebaiknya dilakukan pasca-Pemilu 2024 oleh para legislator terpilih.
Dengan demikian, RUU Pemilu bisa menjadi agenda pertama pembentuk undang-undang hasil Pemilu 2024.
"Jangan diputus oleh MK sebab sistem pemilu sejatinya merupakan hasil konsensus politik yang harus dirumuskan oleh pembentuk undang-undang secara demokratis dan partisipatoris," kata pengajar pemilu FK UI ini.***
Dapatkan informasi lainnya dari kami di Google News.