Kisah Protes Soekarno dengan Petinggi Muhammadiyah Tentang Tabir yang Belenggu Perempuan
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Rabu, 01 Februari 2023 08:55 WIB
Hal itu ialah hal tabir. Dengan mengucap alhamdulillah kepada Allah subhanahu wata’ala, maka tindakan protes saya tempo hari, yakni dengan cara demonstratif bersama-sama saya punya isteri meninggalkan satu rapat Muhammadiyah yang memakai tabir sudah membangunkan minat sebagian besar rakyat Indonesia terhadap soal ini. Ada yang pro, ada yang zakelijk-netral, ada yang anti, ada yang mau menghabisi soal ini dengan alasan-alasan perseorangan yang tidak zakelijk (komersial). Sekarang sudah nayatalah minat itu sehangat-hangatnya, dan tinggallah kita membicarakan hal ini di Maejlis Tarjih nanti dengan tenang dan objektif.
Saya harap Saudara mengerti betul-betul apa yang saya maksudkan tahadi dengan menyatakan bahwa soal ini mengenai ideologi kaum Muhammadiyah pula.
Mengenai ideologi kaum intelektuil, oleh karena kaum intelektual benar-benar tidak bisa simpati kepada tabir itu sebab merekat tahu bahwa tabir itu adalah benar-benar “simbolnya perbudakan kaum perempuan” itu.
Mereka mengira bahwa saya bermaksud mengatakan bahwa orang lelaki Islam dengan sengaja mau memperbudakkan kaum perempuan, lalu menindas kaum perempuan. Saudara tahu bukan begitu maksudnya. Tabir adalah simbol perbudakan perempuan, sebagaimana misalnya Burgerlijk Wetboek (kode sipil) orang Belanda adalah simbol perbudakan perempuan. Di dalam Burgerlijk Wetboek itu, sebagai hasilnya historisch maatschappelijk proces (proses sosial sejarah), hak-hak kaum perempuan Eropah banyaklah diikat dan digunting. Tetapi siapakah orang yang mau mengatakan bahwa orang lelaki Eropah memperbudak perempuan Eropah? Siapakah yang tidak mengetahui bahwa orang Eropah sangat beleefd dan galant terhadap kaum perempuannya?
Namun, tiap-tiap orang yang mengetahui seluk-beluknya Burgerlijk Wetboek akan membenarkan perkataan saya bahwa Burgerlijk Wetboek itu adalah simbol perbudakan perempuan, dan bahwa oleh karenanya Burgerlijk Wetboek itu bersifat tidak sempurna dan tidak boleh menjadi teladan bagi kita.
Tidak, Saudara Mansur yang tercinta. Susunan Burgerlijk Wetboek bukanlah akibat dari persengajaan individu kaum lelaki Eropah mau menghina kaum perempuan, bukanlah akibat bewust willen (keinginan secara sadar), tetapi adalah akibat dari susunan masyarakat Eropah, dari perbandingan-perbandingan di dalam masyarakat Eropah dari historisch maatschappeljike verhoudingen (hubungan sosial sejarah) di kalangan orang Eropah.
Maka begitu pula, kalau saya mengatakan bahwa tabir adalah simbol dari perbudakan kaum perempuan, maka bukanlah saya maksudkan bahwa orang lelaki Islam sengaja mau menindas kaum perempuan, bukanlah saya maksudkan bahwa orang lelaki Islam semuanya orang jahat, tetapi ialah bahwa tabir perbandingan-perbandingan di dalam masyarakat orang Islam, yakni akibat atau sisa dari historisch maatschappelijke verhoudingen di kalangan orang Islam. Malahan saya berkata: walaupun misalnya benar orang lelaki Islam zaman sekarang memasang tabir itu justru “mau memuliakan orang perempuan”, begitulah setengah alasan dari pro tabir, maka saya tetap menamakannya simbol perbudakan!
Bukan kehendak individu yang di sini harus kita pertimbangkan, tetapi adalah kedudukan masyarakat, perbandingan-perbandingan masyarkat! Misalnya saudara mengurung burung di dalam sangkar emas, memberikan kepadanya makan dan minum yang lezat, menempatkan sangkar itu di dalam bilik yang terindah untuk memuliakan dia, tidakkah benar kalau saya berkata bahwa Saudara menghukum burung itu? Itulah sebabnya, maka saya di dalam interview tempo hari mengatakan, bhaw atabir bukan perkataan kain secabik, tetapi ialah satu hal, yang mengenai segenap maatschappelijke positie (posisi sosial) perempuan!
Saudara, saya ulangi lagi: kaum intelektual Indonesia tidak bisa simpati tabir itu, oleh karena mereka dengan cara historisch maatschappelijke analyse, mengetahui bahwa tabir ialah sisanya historisch proces yang mendatangkan perbudakan masyarakat. Mereka merasakan tabir sebagai satu hal yang betul menyinggung ideologi mereka sebab mereka hidup di dalam satu ideologi anti-perbudakan. Marilah kita perhatikan dan benarkan ideologinya kaum intelligentzia itu!
Dan sebaliknya marilah kita kini perhatikan serta menjaga ideologi kaum Muhammmadiyah sendiri! Sebab sebagai tahadi sudah saya katakan, maka tabir adalah mengenai ideologi kaum intelektuil Indonesia dan ideologi kaum Muhammadiyah. Kenapa mengenai pula ideologi kaum Muhammadiyah?