Rosadi Jamani: Buku Tak Lagi Didewakan
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Minggu, 19 November 2023 09:10 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Dunia akademisi sudah bergeser. Dulu, buku seperti didewakan. Sekarang, bukan buku lagi, melainkan jurnal. Sebanyak apapun buku yang ditulis seperti lebih berharga sebuah jurnal yang diterbitkan di Scopus.
Kisah berawal dari Satupena Pusat mencari penulis lokal, satu nonfiksi dan satunya fiksi. Dicari untuk dimasukkan dalam nominasi penghargaan penulis.
Saya pun mencari dan ketemu Syamsul Kurniawan, akrab disapa Iwan. Awalnya tidak kenal. Begitu berkenalan, ternyata beliau Editor Penerbit BRIN. Hebat ni, kualitas nasional. Ia juga Kaprodi PAI di IAIN Pontianak.
Banyak buku yang telah diterbitkannya. Demikian juga banyak tulisan ilmiahnya diterbitkan di sejumlah jurnal. Sangat layak bila saya rekomendasikan beliau salah satu nominasi penulis hebat. Bisa dicek jejak digitalnya di google.
Kami pun asyik ngobrol soal kepenulisan atau literasi. Sesama penulis memang asyik bicara soal ini. Tema obrolan, semakin rendahnya minat baca di kalangan mahasiswa. Apalagi soal tulis menulis, semakin jauh.
Dunia akademisi memang sudah berubah jauh. Dulu, sebuah kebanggaan mahasiswa banyak baca buku. Bahkan, bangga punya banyak koleksi berbagai buku dari penulis hebat. Sekarang? Buku sepertinya perlahan terpinggirkan. Kalah sama jurnal.
"Saat kuliah di Yogya, ujian skripsi, semua buku yang ada dalam daftar referensi wajib diletakkan di depan penguji. Artinya, referensi yang dikutip, bukunya memang ada. Tak bisa asal kutip begitu saja tanpa ada bukunya. Benar-benar ketat," cerita Iwan.
Baca Juga: Hasil Piala Dunia U17 2023: Burkina Faso Bikin Korea Selatan Alami Kekalahan Ketiga di Fase Grup E
Isi daftar referensi skripsi pun semua buku. Di sini buku benar-benar menjadi andalan. Sekarang, tidak lagi. Sangat diandalkan adalah jurnal. Harus masuk jurnal. Jurnalnya juga beraneka ragam. Dari Sinta 1 sampai Sinta 6.
Ada yang berbayar, ada juga karena pertemanan. Ya, macam-macam cerita jurnal ini. Cerita buku pun perlahan semakin jarang dibicarakan. Dulu betapa bangganya bisa menulis buku. Sekarang betapa riang gembiranya tulisan tembus Scopus.
"Saat mau kenaikkan pangkat, saya sertakan delapan buku tulisan saya. Ternyata, buku itu tak bisa dinilai oleh pemeriksa kepangkatan. Katanya, tak sesuai standar. Padahal, buku itu diterima di tingkat pusat. Sangat diutamakan jurnal," ungkap Iwan.
Akibat perubahan ini ber-impact, kaum akademisi lebih senang membaca dan menulis untuk jurnal, ketimbang membukukan tulisannya. Akibat lainnya, mahasiswa pun semakin malas membaca buku. Ia lebih senang membaca jurnal di internet.
Ditambah lagi makin massifnya AI seperti ChatGPT dan sejenisnya. Untuk menulis skripsi begitu mudahnya. Menulis tesis sampai disertasi pun mudah.
Banyak tutorial cara membuat tulisan ilmiah tembus scopus menggunakan chatGPT di youtube. Apalagi gunakan chatGPT Premium, sehari bisa kelar skripsi.
Cara menghindari plagiat pun mudah. Ada sejumlah aplikasi, tulisan AI (robot) dianggap tulisan manusia. Turnitin akan mendeteksinya sebagai tulisan manusia. Kalaupun ada unsur plagiatnya, di bawah 20 persen.
Dunia akademisi sudah jauh berubah. Revolusi industri 4.0 atau sebentar lagi 5.0 mengharuskan kita sebagai human tak bisa lepas dari AI. Tanpa AI rasanya tidak bisa lagi. Semakin hari kita dipaksa tidak menggunakan kecerdasan sendiri. Kecerdasan kita semakin tergantikan oleh AI. Siapa sebenarnya yang cerdas saat ini? Silakan jawab.
(Oleh: Rosadi Jamani, Satupena Kalbar) ***