3 Contoh Puisi Hari Radio Nasional yang Mengandung Makna Dalam dan Mengharukan
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Rabu, 07 September 2022 20:57 WIB
ORBITINDONESIA - Hari Radio Nasional yang diperingati setiap 11 September 2022 dirayakan masyarakat Indonesia dengan beragam cara.
Salah satu cara untuk membuat Hari Radio Nasional pada tahun ini meriah adalah dengan menulis atau membaca puisi yang terkait dengan radio.
Lantas, bagaimana contoh puisi yang bertema tentang Hari Radio Nasional?
Berikut contohnya yang dapat dijadikan sumber inspirasi:
Baca Juga: Pembalap Berdarah Indonesia Akan Gantikan Sebastian Vettel di F1 GP Italia
Contoh Puisi 1:
Melukis berjuta rasa ketika suara merdu kudengar dari radio
Bergema melebur menjadi suatu untaian yang melewati ribuan kilometer
Tapi tetap mengudara dengan suara lembutnya
Terjalin satu membalut kerinduan akan suara merdu
Yang merasuk dalam jiwa
Akankah ini terus menggemgam hati kala suara itu akan berhenti
Akan ada kerinduan
Tuk menanti suaramu mengudara….
Kini saatnya aku menaburkan kerinduanku saat suaramu tak terdengar lagi
Membasuh jiwa yang terjuntai karena rindu
Masih adakah suaramu akan mengudara lagi???
Aku rindu…..
Tapi penantianku tak berujung sudah
Tak ada lagi suaramu tak ada lagi desahmu
Kau menghilang begitu saja
Seperti ditelan bumi….
Kini hanya kenangan bagiku
Suaramu,desahmu dan tawamu, masih terpatri
Menggenggam hati begitu erat sampai rasa ini tak pernah berhenti
Aku masih merindu
Sampai meminta tangis yang begitu kuat
Akhirnya membatu …
Kini hanya kepasrahan untuk menantimu…
Bersuara lagi di udara…aku menantikanmu….
Baca Juga: Manusia Tanpa Agama: Manusia Bisa Hidup Maju dan Sejahtera Tanpa Agama
Contoh Puisi 2:
Kuning temaram lampu meja meringkuk di sudut kamar
Di sisinya, tembang lagu kenangan samar-samar
mendayu merdu dan terbata-bata dari bibir radio tua milik ibu
yang resah dan lelah namun tak mau menyerah.
Dengan terengah-engah ia setia menyampaikan kata-kata para penyair di balik penyiar yang suaranya resah dalam ketelanjangan di telinga para pendengar
Banyak kata tanpa tanda baca telah sirna di antara kita.
Tawamu, atau hamparan pasir putih yang menolak dicium ombak,
atau puisi-puisi tersesat yang entah ke mana harus mencari alamat penulisnya.
Kelak jika kau kembali dalam rupa pesan pendek di ujung getaran telepon genggamku
akan kuselipkan puing-puing puisi ini.
Puisi yang tercipta dari untaian kata yang tertinggal
di sepasang kursi pesawat waktu kita duduk bersama
dan menertawakan kepedihan yang tumbuh di kepala masing-masing.
Baca Juga: Mendikbud Bakal Rombak Skema SNMPTN, Tidak Lagi Pakai Jurusan SMA, Simak Ketentuannya di Sini
Contoh Puisi 3:
Aku nyaris menghabiskan malam-malamku di depan mata radio dan
mendapati diriku tersesat dalam lamunan tentang bagaimana cara kita bersua.
Tiba-tiba, sehelai bulu mata menjatuhkan tubuhnya di beranda pipiku.
"Itu pertanda seseorang merindukanmu, Nak."
Kata ibu yang sedang marajut senyum pada bibirnya di sudut meja makan.
Ah, kukira ibu bercanda.
Aku sedang terjebak dalam ruang penuh kata rindu namun tak kudapati sehelai pun bulu matamu runtuh.
Atau kau yang tak pernah membiarkannya memberi tanda
bahwa aku sedang tak mampu menahan rindu?
Astaga! Rindu?
Kau bahkan tak mau mendengar kata itu.
Enyah saja! Katamu.
Aku ingin menjadi layar telepon genggam yang dapat membaca matamu setiap saat, atau tembang lagu-lagu kenangan di radio yang menemanimu menikmati malam yang kau idam-idamkan sepanjang siang.
Aroma tubuhmu dan sisa-sisa tawa yang kau tinggalkan menggenggam tanganku dengan erat, menemaniku berjalan menyusuri kota tua di pinggir pantai tiap pukul lima sore, lalu menutup hari dengan mengucapkan salam perpisahan pada sepotong senja yang menenggelamkan dirinya dalam pelukan samudra, sedang diriku jatuh dalam pelukan kenangan tentang kita.***