DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Amir Uskara: Bravo, Ekonomi Indonesia Nomor 7 Dunia

image
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Amir Uskara

Oleh: Dr. H.M. Amir Uskara, Ketua Fraksi PPP DPR RI

ORBITINDONESIA - Bangga! Itulah kesan pertama terhadap laporan World Economic Outlook International Monetary Fund (IMF) edisi Oktober 2022. Laporan tersebut menyatakan, Indonesia masuk dalam jajaran 10 besar peringkat ekonomoi negara-negara dunia.

Lebih menarik lagi performance ekonomi Indonesia berada di peringkat 7 dunia. Itu artinya, posisi ekonomi Indonesia di atas Inggris dan Prancis.

Luar biasa. Tentu kita bangga. Peringkat ekonomi Indonesia sudah melebihi dua raksasa dunia abad 19. Kita tahu, Inggris dan Prancis di abad 19 adalah raksasa ekonomi dunia. Penguasa yang tangan-tangannya mencengkeram lebih dari separuh negara di muka bumi.

Baca Juga: VULGAR, Setelah Main di Meja Kerja, Denise Chariesta Ungkap Pernah Dipaksa RD Bercita dengan Gaya Ini

Daftar peringkat ekonomi terbesar dunia yang dirilis IMF ini mengacu pada tingkat Gross Domestic Product (GDP). Basis perhitungannya pada Purchasing Power Parity (PPP).

PPP merupakan salah satu ukuran perbandingan nilai mata uang yang ditentukan oleh daya beli uang tersebut terhadap barang dan jasa di tiap-tiap negara.

Dalam kategori ini, tahun 2022, Indonesia mencatatkan PDB sebesar 4,02 triliun dolar AS. Lebih besar dari Inggris dan Prancis.

Posisi paling atas negara dengan ekonomi terbesar di dunia dalam daftar tersebut ditempati oleh China dengan besaran PDB 30 triliun dolar AS. Setelah itu Amerika Serikat dengan PDB 25 triliun dolar AS. Lalu India dengan 11,6 triliun dolar AS.

Baca Juga: Fakta Unik Kucing Jenis Savannah yang Merupakan Keturunan Afrika

Selanjutnya, Jepang tercatat memiliki PDB 6,1 triliun dolar AS. Dan Jerman 5,3 triliun dolar AS. Sedangkan Rusia 4,6 triliun dolar AS.

Ada pun Brasil, Inggris, dan Prancis berada di bawah Indonesia. PDB-nya masing-masing sebesar 3,78 triliun, 3,77 triliun, dan 3,68 triliun dolar AS.

Kondisi ekonomi Eropa – jika Inggris dan Prancis dianggap mewakili Benua Biru – terpuruk karena adanya perang Rusia-Ukraina.

Pasokan energi kedua negara besar yang mendrive ekonomi Eropa tersebut kini terganggu akibat kebijakan Rusia yang menghentikan penyaluran gas kepada negara-negara Eropa tadi, terutama Inggris dan Jerman.

Baca Juga: Kejagung Tetapkan Bos PT Sumatraco Langgeng Abadi Jadi Tersangka Baru Kasus Korupsi Impor Garam, Ini Perannya

Dampaknya tak hanya Inggris dan Jerman yang kelojotan. Tapi juga Belanda, Itali, Belgia, Portugis, dan Prancis ikut kelojotan.

Semua itu berdampak pada penurunan ekonomi. Eropa -- catat IMF – kini mengalami resesi ekonomi. Krisis biaya hidup makin menekan dan ketegangan sosial meluas.

Mundurnya Liz Truss sebagai PM Inggris (20 Oktober 2022) hanya 40 hari setelah duduk di Downing Street, London, menunjukkan betapa sulitnya kondisi ekonomi Inggris akibat krisis energi tersebut.

IMF memprediksi tahun 2023 akan terjadi bencana, berupa resesi ekonomi dunia. Krisis di Benua Biru akan menjalar ke seluruh penjuru dunia.

Baca Juga: Ternyata Ini Rahasia Denise Chariesta sampai Bikin RD Bucin Berat Kepadanya, dari Kisah Berdua di Lift

Direktur IMF Kristalina Georgieva menyatakan, saat ini suudah 16 negara di dunia telah menjadi “pasien” IMF. Dan, 28 negara lainnya, tengah antri menjjadi “pasien” Dana Moneter Internasisional itu.

Menariknya, prediksi IMF di atas, ternyata satu dekade lalu telah dinyatakan oleh lembaga riset internasional McKinsey Global Institute (MKGI).

McKinsey memperkirakan -- dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang paling stabil di dunia -- Indonesia akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor 7 dunia, tahun 2030 mendatang.

Chairman McKinsey, Raoul Oberman dalam presentasi di acara Penyatuan Visi Bersama Menuju Indonesia Maju 2030 yang diselenggarakan Komite Ekonomi Nasional (KEN) di Hotel Ritz Carlton, Jakarta (13/11/2012), menyatakan: prediksi itu didasarkan pada hasil penelitian MKGI selama 6 bulan terakhir.

Baca Juga: Denise Chariesta Mengaku Dipaksa Lakukan Ini di Lift Umum, Sampai Teriak Keras!

Raoul Oberman mengemukakan, ada 5 (lima) indikasi yang bisa mendukung pencapaian Indonesia menjadi negara dengan ekonomi nomor 7 (tujuh) di dunia.

Pertama, tingkat ekonomi Indonesia dinilai paling stabil di dunia. Bahkan, Bank Indonesia sudah menjelaskan bahwa perekonomian Indonesia paling stabil dalam 4-5 tahun terakhir.

Saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia paling stabil di dunia, melebihi pertumbuhan ekonomi negara-negara maju yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).

Indonesia, didorong oleh tingkat konsumsi domestik yang luar biasa besar, jelas Raoul.

Baca Juga: Dapat Doktor Honoris Causa dari Korea, Puan Maharani: Membangun Demokrasi dengan Nilai Kemanusiaan

Kedua, sekitar 90 persen pertumbuhan ekonomi nasional berasal dari wilayah di luar Jawa. Jadi, pertumbuhan ekonomi ini bukan hanya terjadi di Jawa atau Jakarta, namun telah menyebar ke berbagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di luar Jawa.

Ketiga, sekitar 11 persen ekspor komoditas berasal dari sektor nonmigas. Ini artinya, sektor industri manufaktur telah berkontribusi besar terhadap kemajuan ekonomi.

Keempat, pemakaian sumber daya alam (SDA) sebagai andalan pertumbuhan ekonomoi sudah berkurang. Pengurangannya cukup siginifikan, mencapa 7 persen, tulis MKGI.

Ini menepis tuduhan bahwa SDA adalah penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Baca Juga: Waduh, Baru Sepertiga Kisah Aib RD yang Diungkap Denise Chariesta, Sisanya Siap Diumbar Tanpa Filter

Kelima, sekitar 60 persen pertumbuhan ekonomi ditopang oleh peningkatan produktivitas. Ini juga membantah bahwa pertumbuhan ekonomi hanya dari pertumbuhan angkatan kerja.

Meski demikian, Oberman mengingatkan bahwa tantangan Indonesia ke depan adalah bagaimana meningkatkan produktivitas, memperluas inklusivitas, dan mempertahankan pertumbuhan yang stabil.

Menurut Chairman MKGI itu, sudah saatnya Indonesia tidak hanya menjadi jago kandang. Tapi juga harus jadi jago di dunia.

Oberman mengingatkan, Indonesia memiliki waktu panjang untuk bisa menjadi negara maju. Jika diproyeksikan menjadi negara maju pada 2030, Indonesia perlu waktu 85 tahun untuk bisa menjadi negara maju sejak lepas dari kolonialisme (1945).

Baca Juga: Sudah Dua Kali Jadi Presiden, Jokowi: Setelah Ini Kelihatannya Jatahnya Pak Prabowo

Ia membandingkan dengan Inggris yang perlu waktu 250 tahun untuk bisa menggandakan produk domestik brutonya.

Tapi jangan lupa, tambah Oberman, Cina hanya perlu 12 tahun untuk melipatgandakan PDB-nya. Dan Indonesia punya kedekatan historis dan budaya dengan Cina, ketimbang Eropa.

Apa yang diramalkan IMF dan McKinsey tersebut memang cukup membanggakan. Tapi harap ingat, semua ramalan itu, hanya akan terwujud bila Indonesia mampu memenuhi syarat-syarat dan kondisi-kondisi untuk meraih posisi terhormat tersebut.

Apalagi ramalan di atas, berpiijak pada kondisi “krisis energi”: dan “krisis rantai pasok” global akibat perang Rusia-Ukraina.

Baca Juga: MANTAP, Denise Chariesta Ungkap RD Kerap Pakai Duit Kantor untuk Berselingkuh

Maka, bila syarat dan kondisi itu (meningkatkan produktivitas, memperluas inklusivitas, dan mempertahankan pertumbuhan yang stabil) tidak bisa dipenuhi, Indonesia akan terjebak pada halusinasi semata.

Sebab, bagaimana pun prediksi IMF dan McKinsey tidak berarti apa-apa bila melihat besaran GDP Indonesia yang membesar dari kaca mata populasi yang juga membesar.

Ingat, GDP punya 4 komponen: konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah (public spending), ekspor dan impor.

Konsumsi hampir selalu merupakan komponen terbesar di banyak negara dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, rata2 komponen konsumsi 62%.

Baca Juga: Diduga Tebar Ujaran Kebencian, Ansor Maluku Laporkan Akun Twitter @FaizalAssegaf

Ini berarti, GDP sebagian besar mencerminkan tingkat konsumsi penduduknya. Makin banyak penduduk tentu makin besar konsumsinya. Negara-negara Eropa seperti Inggris dan Perancis, populasinya jauh di bawah Indonesia.

Dari perspektif ini, prediksi IMF dan McKinsey, hendaknya tidak ditelan mentah-mentah. Ada sejumlah prasarat lain untuk mewujudkan prediksi IMF dan McKinsey tadi.

Bukan hanya soal produktivitas, inklusivitas, dan stabilitas pertumbuhan ekonomi seperti disebutkan IMF dan McKinsey– tapi juga perlu inovasi teknologi, optimalisasi populasi, pemberantasan korupsi, kepemimpinan nasional yang mumpuni, dan last but not least stabilitas politik dalam negeri.

Jika hal terakhir ini ambyar, maka seluruh bangunan negara ikut ambyar. Prediksi IMF dan McKinsey pun akan ambyar.***

Berita Terkait