S. Indro Tjahyono: Jangan Ulangi Tragedi Memalukan 2014 dan 2019
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 05 Agustus 2022 13:03 WIB
Oleh: S Indro Tjahyono, Aktivis 77/78.
Maaf memang posisi antara aktivis berpartai dan aktivis nonpartisan berbeda. Yang berpartai pada posisi negara ( state) dan yang nonpartisan pada posisi rakyat ( society). Sistem politik itu berada pada sistem negara.
Silahkan mereka tentukan sistem politik beserta capres/cawapresnya. Mereka pula yang mengkampanyekan capres/cawapres, karena mereka punya dananya.
Rakyat menunggu mana capres/cawapres yang baik. Kalau sistem politiknya jelek dan capres/cawapersnya juga buruk, berdasarkan hak politik bisa tidak ikut pemilu sebagai hak pribadinya tapi jangan ajak- ajak yang lain untuk Golput.
Demikian pula kalau Capres/Cawapresnya ternyata "ndlahom" boleh tidak mencoblos.
Rakyat itu punya mandat terhadap negara yakni memberi tugas kepada presiden dan kepala lembaga-lembaga negara lain. Bahkan kalau Presiden tidak becus, rakyat bisa melengserkan presiden melalui DPR RI dan MPR RI.
Sehingga aktivis yang nonpartisan, melanggar azas demokrasi, jika masih mau diperalat oleh partai politik untuk mengusung, memobilisasi dukungan , dan membiayai kampanye Capres/Cawapres.
Pada 2014 dan 2019, banyak aktivis nonpartisan mendukung kandidat Capres/Cawapres bahkan mengeluarkan dana untuk mengkampanyekannya.
Baca Juga: Jadwal Liga 1: PSIS Semarang Melawan PS Barito Putera Disiarkan Indosiar dan Vidio Sabtu Sore
Dari segi demokrasi cara ini sebenarnya termasuk "haram". Aktivis nonpartisan bersama rakyat adalah pihak yang akan memberi mandat ke presiden untuk mewujudkan amanat rakyat.
Gila saja kalau pemberi mandat ikut-ikutan mengkampanyekan kandidat Capres/Cawapres yang notabene nanti adalah pelaksana perintah atau mandat rakyat.
Bahkan 60% calon legislatif (Caleg) sebagai aparat partai politik di lapangan tidak mencantumkan gambar Capres/Cawapres pada spanduk kampanyenya.
Aktivis pendukung bahkan diberi atribut nama binatang (cebong dan kampret) dan dipecahbelah dalam berbagai kelompok pendukung, sehingga modal sosial dan posisi tawarnya lemah.
Aktivis nonpartisan yang ikut mendukung Capres/Cawapres berharap Presiden Terpilih akan bersedia menggunakan hak prerogatifnya untuk menggalang barisan perubahan melalui kabinet.
Tapi apa lacur, justru partai politik memperkosa hak prerogatif Presiden Terpilih dan meminta jatah jabatan di Kabinet. Padahal tujuan mereka akan menempatkan menteri untuk dapat menggarong APBN guna membiayai parpol pengusung.
Padahal kita tahu Indonesia menganut Sistem Presidensial dan bukan Sistem Parlementer. Kabinet bukan kabinetnya parpol, tetapi kabinetnya Presiden yang dipilih berdasarkan kompetensi dan bukan politik.
Presiden akhirnya tidak berhasil menggalang orang terbaik untuk membantu mereka, karena anggota kabinet adalah aparat partai yang diberi mandat oleh parpol untuk menyetor dana untuk partai.
Yang lebih mengerikan adalah Kandidat Capres/Cawapres memandang relawan pendukungnya hanya sebagai fans. Dengan nama relawan, para Capres/Cawapres bisa menghindar bahwa bukan dia yang minta dukungan relawan, sehingga tidak ada kewajiban membalas budi.
Ini artinya relawan telah "dibeli putus", setelah diberi uang saku untuk kampanye, maka Presiden tidak perlu menggubris lagi relawan.
Relawanlah yang selama ini berilusi menggunakan Pemilu sebagai instrumen revolusi. Hubungan antara Kandidat Presiden dan relawan pendukungnya diibaratkan hubungan Che Guevara dengan tentara gerilya Pengawal Revolusi.
Tapi celaka saat ini Presiden lebih dekat dengan Oligarki Istana dan relawan cukup diajak selfie di acara temu kangen yang tak tentu jadwalnya.***