DR H Abustan: Antiklimaks Putusan Mahkamah Konstitusi
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Rabu, 18 Oktober 2023 21:39 WIB
Oleh: DR H Abustan, Pengajar Hukum Tata Negara S2 Universitas Islam Jakarta
ORBITINDONESIA.COM - Pasca pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi (Senin, 16 Oktober 2023) terkait uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017.
Uji materi itu diajukan mahasiswa Universitas Negeri Surakarta (Unsa) bernama Almas Tsaqibbirru khususnya terkait Pasal 169 huruf q dianggap sangat kontraversi dan mengundang protes keras.
Sejauh pengetahuan saya, sejak berdirinya MK tak pernah terjadi kontroversi yang begitu dahsyat dalam proses sidang yang digelar di altar gedung Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang kita saksikan saat ini hasil putusan perkara sengketa penentuan persyaratan calon presiden dan wakil presiden.
Baca Juga: Spoiler Manga Jujutsu Kaisen Chapter 239, Kenjaku Muncul hadapi Fumihiko Takaba si Penyihir Komedian
Sekali lagi, putusan tersebut mengidap "cacat hukum". Sorotan yang banyak disoal adalah klausul "pernah atau sedang menjabat kepala daerah". Tambahan frasa atau tafsir dari hakim MK di kategorikan sebagai sebuah "penyelundupan hukum".
Selain itu, uji materil undang - undang pemilu terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang bersangkut paut masalah umur bagi calon Presiden / Wakil Presiden sudah ditetapkan minimal 40 tahun.
Dengan demikian, tentu saja tak dibutuhkan lagi tambahan (norma baru) yang hanya bisa berimplikasi putusan MK jadi "cacat hukum".
Sesungguhnya, tambahan norma inilah yang dianggap sebagai "kejanggalan" yang diungkap sendiri Arif Hidayat salah satu hakim konstitusi putusan a quo.
Seperti diketahui MK menolak Gugatan Nomor 29, 51, 55/PUU XXl / 2023. Sedangkan pada gugatan Nomor 90 / PUU - XXI / 2023, MK mengabulkan sebagian.
Atau dengan kata lain, pembacaan putusan dari pagi sampai siang berjalan lancar (on the right track) putusan sangat menggembirakan sesuai dengan prediksi saya sebelumnya bahwa MK akan tetap sebagai "penjaga konstitusi".
Ternyata pembacaan putusan berikutnya (waktu sore) putusan mengalami "kebuntuan" yaitu pembacaan putusan ke empat. Kita semua jadi kaget, seperti tendangan bola liar yang berkelok ke arah lain yang pada gilirannya menjadi sebuah "antiklimaks" yang sangat diametral tiga putusan sebelumnya yang sudah dibacakan.
Hemat saya, putusan ke empat inilah yang bakal menjadi bom waktu karena sangat problematik.
Baca Juga: Perhatikan dengan Baik, Inilah 10 Tanda Wanita Memasuki Masa Menopause yang Wajib Kamu Ketahui
Hal senada juga dikeluhkan hakim konstitusi Saldi isra yang videonya beredar luas di publik. Suara kebingungan itu "mengaku heran mengapa Ketua MK Anwar Usman mengabulkan sebagian perkara 90 / PUU - XXI / 2023".
Kejanggalan lain yang cukup fatal adalah hanya ada 3 dari 9 hakim MK yang setuju semua kepala daerah dapat mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres.
Kondisi yang aneh bin ajaib demikian, sejujurnya secara ketatanegaraan mudah untuk menebak/mengatakan bahwa konsekwensi putusan akibat MK terlalu proaktif melapangkan jalan untuk menjadi capres dan/atau cawapres salah satu kandidat dari rezim kekuasaan.
Maka, secara mudah menjungkirbalikkan open legal policy secara ugal-ugalan dan membiarkan lembaga sekaliber MK yang seharusnya di jaga "kehormatannya" justru di sandera oleh dinasti kekuasaan.
Padahal, menjadi kewajiban para hakim konstitusi yang diberi kepercayaan oleh negara untuk menjauhkan lembaga terhormat ini agar tidak terkooptasi dengan syahwat kekuasaan.
Akhirnya, carut marut konstruksi putusan MK semakin memberi konfirmasi yang jelas kepada kita: bahwa politik masih tetap sebagai panglima yang mengalahkan hukum. Sebab, MK telah memanipulasi hukum demi kepentingan politik.
Bahkan, cenderung menjadi adegan sandiwara terhebat. Seperti kata Denny Indrayana "The most out standing comedy terbesar dalam abad 21".
Betapa dahsyatnya ongkos yang harus kita bayar dari lahirnya produk hukum cacat etika. Dampaknya sangat luas, dan harus ditanggung oleh generasi muda ke depan.
Padahal, sejak reformasi tonggak sejarah baru dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia diharapkan mengalami perubahan. Dan, perubahan itu sangat di harapkan setelah lahirnya lembaga baru yang bernama Mahkamah Konstitusi.
Jakarta, 18 Oktober 2023. ***