Ferdinand Hutahaean: Subsidi BBM, Bagai Asupan Darah yang Salah Pembuluh
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Selasa, 30 Agustus 2022 14:57 WIB
Oleh: Ferdinand Hutahaean, pemerhati masalah politik, ekonomi dan BBM.
ORBITINDONESIA - Belakangan kita terus dibuat gelisah oleh persoalan Subsidi Energi khususnya subsidi BBM. Bukan hanya rakyat yang gelisah, tapi juga Pemerintah resah dengan APBN yang terbakar oleh subsidi.
Subsidi Energi khususnya BBM adalah persoalan lama, kesalahan puluhan tahun yang tak kunjung diperbaiki. Mengapa? Meski mudah, tapi beban politknya besar bagi penguasa.
Era SBY 10 Tahun Presiden, tercatat negara membakar lebih dari Rp 1.300 triliun untuk subsidi BBM dengan klaim pertumbuhan ekonomi 6%
Baca Juga: Hanya Yanagihara Dalam Novel tentang Persahabatan Berjudul A Little Life
Era Presiden Jokowi 7 tahunan, subsidi BBM telah terbakar lebih dari Rp 660 triliun dengan pertumbuhan ekonomi stabil, meski di bawah tekanan akibat pandemi Covid yang meluluh lantakkan perekonomian dunia.
Saat ini, kondisi kuota BBM khususnya Solar dan Pertalite yang disubsidi pemerintah diperkirakan akan habis pada kisaran bulan September 2022, artinya akan ada dampak dan resiko yang harus terjadi.
Pilihan sulit bagi pemerintah dan juga untuk rakyat, 3 opsi kemudian beredar menjadi pilihan, tambah besaran subsidi di APBN, naikkan harga jual Solar dan Pertalite atau lalukan pembatasan.
Subsidi atas nama rakyat ini ternyata sejak awal salah sasaran dan banyak dinikmati oleh kalangan mampu daripada dinikmati kalangan bawah, yang seharusnya menjadi target subsidi.
Sejak pertama subsidi ini memang sudah dirancang sebagai suap politik, tidak benar arahnya, salah sasaran dan pencitraan semata. Yang akhirnya jadi beban setiap tahun meski berganti pemerintahan.
Logika normalnya, BBM itu kan konsumennya orang mampu, pemilik mobil atau kendaraan. Artinya, mereka mampu secara ekonomi, mengapa justru bahan bakarnya disubsidi?
Tapi sudahlah, kita tak perlu lagi meributkan kebijakan itu, karena siapapun presidennya saat ini pasti berat memutus menghentikan subsidi, karena dampak politiknya super maha tinggi. Partai penguasa tentu tak akan rela jadi korban
Pasar terlanjur menikmati asupan subsidi bagai asupan darah segar yang dinikmati oleh para penikmat pasar, tapi bukan dinikmati oleh rakyat yang seharusnya menerima subsidi.
Baca Juga: Takut Tsunami, Jumlah Pengungsi Gempa Bumi Kepulauan Mentawai Bertambah Jadi 2.326 Jiwa
Subsidi telah menjadi bancakan pengusaha dan kalangan mampu, sementara rakyat bawah hanya menikmati remah-remah dari subsidi tersebut. Sungguh bagai asupan darah segar yang salah pembuluh darah.
Lantas bagaimana mengatasi masalah ini? Bagaimana mengatasi gejolak pasar bila harga BBM dinaikkan? Bagaimana mengatasi dampak politik yang hyper panas kalau harga BBM dinaikkan?
Melihat kondisi ini, tampaknya menaikkan harga bukanlah solusi apalagi menjelang tahun politik yang akan sangat beresiko dimamfaatkan oleh oposisi untuk menghajar partai penguasa. Sebuah resiko..!
Sebelum mengusulkan solusi atas masalah ini, saya hendak memberikan sebuah ilustrasi ringan tentang subsidi yang dinikmati oleh orang kaya dan atau pengusaha mampu.
Ini ilustrasi, sebut saja pengusaha “XXX Mart” atau Super Market milik pengusaha mampu. XXX Mart ini misalnya memiliki kendaraan pengangkut sejumlah 100 unit berbahan bakar Solar.
Andaikan saja 1 unit kendaraan menggunakan 20 liter Solar/hari, maka subsidi yang dinikmatinya sekitar Rp.156.000/hari atau sebesar Rp.4.680.000/hari dengan besaran subsidi Solar di kisaran Rp.7.800/Liter.
Bila XXX Mart ini punya 100 kendaraan maka dia akan menikmati subsidi solar sebesar Rp. 468.000.000/bulan. Angka yang sungguh fantastis. Pantas saja pengusahanya makin kaya dan si miskin tak dapat manfaat.
Begitu juga dengan seseorang yang punya mobil pribadi, menggunakan Pertalite 10 liter/hari. Maka dia akan menikmati subsidi sebesar Rp.68.000/hari dengan besaran subsidi Rp.6.800/liter.
Baca Juga: Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi Berpelukan Penuh Haru di Lokasi Rekonstruksi Pembunuhan Brigadir J
Dengan demikian sang pemilik mobil akan menikmati subsidi sebesar Rp.2.040.000/bulan. Sementara rakyat bawah yang naik angkutan umum dapat apa? Hanya dapat aroma tak sedap berbaur padat di dalam angkutan.
Permasalah subsisdi salah sasaran ini harus diselesaikan secara komprehensif dan permanen. Tidak perlu menaikkan harga BBM Subsidi, tapi melakukan pembatasan secara ketat siapa yang berhak menggunakannya.
Bagaimana cara membatasinya? Cukup Presiden menerbitkan Perpres kendaraan yang berhak menggunakan BBM Subsidi, yaitu hanya kendaraan distribusi, angkutan umum dan sepeda motor.
Pemerintah bisa mengambil data dari Korlantas Polri dan data milik Dinas Perhubungan di setiap daerah, kendaraan mana saja yang digunakan untuk distribusi barang dan angkutan umum.
Baca Juga: Tidak Pakai Baju Orange, Puteri Candrawathi Pakai Baju Serba Putih di Lokasi Rekonstruksi, Mengapa?
Data ini kemudian diintegrasikan dengan sistem digitalisasi yang pernah dilakukan oleh Pertamina di SPBU dengan nilai proyek Rp 5 triliun lebih. Harusnya sistem ini bisa digunakan dan dipadukan dengan aplikasi My Pertamina.
Untuk pembatasan maka setiap kendaraan harus menginput kilometer perjalanan setiap mengisi bahan bakar, sehingga bisa diawasi penggunaannya secara tepat, tidak diperjual belikan dengan modifikasi tanki.
Langkah ini bila dilakukan, maka akan menurunkan secara drastis kuota BBM Subsidi, sehingga tepat sasaran dan tidak dinikmati oleh kalangan mampu.
Dampak dari ini, anggaran Subsidi yang dihemat, bisa digunakan menggratiskan sekolah supaya beban rakyat keseluruhan berkurang. Selain itu, gratiskan angkutan umum karena bisa disubsidi seluruhnya oleh pemerintah.
Baca Juga: Rekonstruksi Pemberantasan Brigadir J Digelar di 3 Lokasi Sekaligus, Semua Tersangka Hadir
Selain pembatasan ini, pemerintah juga perlu membubarkan lembaga tak perlu seperti contoh BPH Migas, yang fungsinya pengawasan tapi tak berguna. Malah menambah beban harga BBM karena kutipan dari BPH Migas
Pemerintah harus berani melakukan Langkah ini, mengalihkan subsidi tidak tepat sasaran ke subsidi tepat sasaran dan tidak hangus terbakar begitu saja.
Demikian utas pendek ini semoga menjadi masukan bagi pemerintah. Terimakasih.***