Ferdinand Hutahaean: Subsidi BBM, Bagai Asupan Darah yang Salah Pembuluh
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Selasa, 30 Agustus 2022 14:57 WIB
Sejak pertama subsidi ini memang sudah dirancang sebagai suap politik, tidak benar arahnya, salah sasaran dan pencitraan semata. Yang akhirnya jadi beban setiap tahun meski berganti pemerintahan.
Logika normalnya, BBM itu kan konsumennya orang mampu, pemilik mobil atau kendaraan. Artinya, mereka mampu secara ekonomi, mengapa justru bahan bakarnya disubsidi?
Tapi sudahlah, kita tak perlu lagi meributkan kebijakan itu, karena siapapun presidennya saat ini pasti berat memutus menghentikan subsidi, karena dampak politiknya super maha tinggi. Partai penguasa tentu tak akan rela jadi korban
Pasar terlanjur menikmati asupan subsidi bagai asupan darah segar yang dinikmati oleh para penikmat pasar, tapi bukan dinikmati oleh rakyat yang seharusnya menerima subsidi.
Baca Juga: Takut Tsunami, Jumlah Pengungsi Gempa Bumi Kepulauan Mentawai Bertambah Jadi 2.326 Jiwa
Subsidi telah menjadi bancakan pengusaha dan kalangan mampu, sementara rakyat bawah hanya menikmati remah-remah dari subsidi tersebut. Sungguh bagai asupan darah segar yang salah pembuluh darah.
Lantas bagaimana mengatasi masalah ini? Bagaimana mengatasi gejolak pasar bila harga BBM dinaikkan? Bagaimana mengatasi dampak politik yang hyper panas kalau harga BBM dinaikkan?
Melihat kondisi ini, tampaknya menaikkan harga bukanlah solusi apalagi menjelang tahun politik yang akan sangat beresiko dimamfaatkan oleh oposisi untuk menghajar partai penguasa. Sebuah resiko..!
Sebelum mengusulkan solusi atas masalah ini, saya hendak memberikan sebuah ilustrasi ringan tentang subsidi yang dinikmati oleh orang kaya dan atau pengusaha mampu.