DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Suroto: Ancaman Fasisme dan Matinya Demokrasi Kita

image
Sejumlah mahasiswa berdemonstrasi menentang Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja di Magelang, Jawa Tengah, Selasa (13/10/2020).

ORBITINDONESIA - Presiden di akhir tahun baru saja mengumumkan pencabutan penggunaan masker untuk Pandemi Covid-19. Artinya rakyat boleh leluasa lagi bergerak seperti sebelum pandemi.

Tapi sepertinya demokrasi secara kasar sedang dibungkam melalui berbagai Undang Undang ( UU) kontroversial.

Publik dikagetkan dengan pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Omnibus Law nomor 2 tahun 2022 tentang Ciptakerja.

Baca Juga: Dicibir Netizen Soal Open Donasi Indra Bekti , Ini Tanggapan Bijak Aldilla Jelita Sang Istri

Intinya memberlakukan Undang Undang ( UU) Ciptakerja yang sudah dinyatakan Inkonstitusional alias bertentangan dengan Undang Undang Dasar ( UUD) oleh Mahkamah Konstitusi.

Sebelumnya, pemerintah dan parlemen sudah membuat kontroversi dengan paksakan pemberlakuan UU Kitab Undang Undang Hukum Pidana ( KUHP) yang ditengarai mengancam kebebasan berpendapat.

Walaupun tidak banyak mendapatkan sorotan publik, pada saat sidang paripurna sesungguhnya juga baru saja diberlakukan UU Omnibus Law Penguatan Dan Pengembangan Sektor Keuangan ( UU PPSK).

Isinya adalah pelegalan perampokan uang negara dan bentuk kekebalan hukum bagi pejabat pengambil keputusan di sektor keuangan serta liberalisasi sektor keuangan yang merupakan darah dari ekonomi kita.

Baca Juga: TERLENGKAP, Profil dan Biodata Mangaka Jenius Eiichiro Oda One Piece , Tanggal Lahir, Nama Istri dan Instagram

Berangkat dari analisa proses pembentukan UU dan logika hukum yang ada ini merupakan ancaman serius terhadap kehidupan demokrasi kita.

Tak hanya proses pembentukanya yang miskin partisipasi, tapi telah menghancurkan nalar hukum kita secara mendasar.

Logikanya, sebuah UU yang sudah dinyatakan inkonstitusional itu ketika di-Perppukan maka kelak akan dimintakan kembali persetujuan Parlemen.

Jika parlemen sebagai pihak yang tadinya telah menyetujui UU tentu akan kembali mengafirmasi isinya dan otomatis masyarakat akan menggunakan jalur ke Mahkamah Konstitusi ( MK) kembali.

Baca Juga: Sebut Masyarakat Bikin Repot, Oknum Dishub di Kota Medan Ini Viral

Kemudian jika MK menggunakan dasar putusanya melalui sistem yurisprudensi tentu logikanya akan diputuskan Inkonstitusional lagi.

Lalu apakah Presiden akan mem-Perppukan lagi UU tersebut?. Ini adalah sebuah logika ketololan massal yang sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Pada massa Orde Baru saja, presiden yang tempatkan birokrasi lebih berkuasa dari undang- undang tidak separah ini. Banyak undang undang yang sensitif seperti UU KUHP, UU Agraria, UU Perusahaan Negara bahkan tidak disentuh sama sekali.

Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Ciptakerja adalah sebuah manifesto lahirnya sistem patrimonialisme, satu tahap menuju ke dalam sistem fasisme.

Baca Juga: Tiga Meninggal Tersetrum Listrik Selama Banjir di Semarang, Dua Korban di Antaranya Mahasiswa

Ditambah dengan ancaman serius kebebasan berpendapat dari individu dalam UU KUHP, maka setiap saat masyarakat akan terancam dalam ketakukan massal.

Padahal, kebebasan itu adalah prasyarat penting bagi masyarakat demokratis, jaminan bagi berjalanya kedaulatan rakyat.

Jika kita ingin serius membangun demokrasi maka justru kulminasi kebebasan itulah yang seharusnya diciptakan untuk membangun kesadaran ( conciousness) rakyat.

Tanpa kebebasan tidak mungkin akan timbul sistem masyarakat yang berkesadaran tinggi dan turut mengambil tanggungjawab terhadap kehidupan berbangsa dan negara serta proses membangun partisipasi aktif dalam pembangunan.

Baca Juga: BRIAN FATARI, Hengkang dari Persipura Berlabuh ke Dewa United

Tercatat dalam sejarah, mulainya kekuasaan fasisme seperti Mussolini di Italy dan Hitler di Jerman itu awalnya dimulai karena sikap apatis rakyat terhadap hukum.

Lalu sistem hukum yang memunculkan ketakutan massal membentuk kekuasaan terpusat ke tangan satu orang, sistem patrimonialisme.

Dengan sikap apatisme dan ketidakbedayaan masyarakat sipil lalu munculah kepemimpinan fasisme itu.

Satu hal lagi, dalam catatan sejarah fasisme, dia selalu berusaha membentuk sistem kongkalikong dengan para plutogark, segelintir elit kaya. Kepentingan mereka satu, mencengkeram kekuatan demokratis dan kedaulatan rakyat.

Baca Juga: Cek Ulang Masa Berlaku STNK Kamu, Tidak Diperpanjang 5 Tahun Bakal Diblokir, Ini Dampaknya

Bagi pemimpin fasis, suara kebebasan, suara rakyat, demokrasi adalah acaman serius mereka. Mereka harus merepresinya.

Sejarah membuktikan, para pemimpin fasis itu ternyata menjual demokrasi kepada pembelinya yang tertinggi.

Sementara kepentingan para elit kaya yang bersembunyi pada kuasa fasis adalah ingin tetap langgengkan sistem kerajaan bisnis mereka.

Mereka tidak menginginkan sistem demokrasi ekonomi, sistem kepemilikan luas dari masyarakat.

Baca Juga: Berkaca dari Permasalahan Kesehatan Indra Bekti, Ini Tata Cara Terlengkap Mendaftar BPJS Kesehatan 

Logikanya, saat ini kita telah masuk pada sistem patrimonialisme. Jika kita abaikan maka proses transformasi menuju sistem demokratisasi kita terancam gagal.

Masyarakat "genossenschaft, masyarakat demokratis setara terancam menjadi masyarakat Herrsschaft, fasis. Jika kita lupakan seluruh sejarah masa lalu maka hukumnya sama, kita dihukum untuk memgulanginya sekali lagi. Masuk kembali ke sistem fasisme seperti sebelum Reformasi.

Jakarta, 1 Januari 2023

Suroto
Ketua AKSES ( Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis)

Berita Terkait