Tidak Kelihatan Namun Meninggalkan Jejak
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Minggu, 03 Juli 2022 14:28 WIB
Jadi kalau mau mengklaim diri sebagai orang kota jangan sekali-kali memakan “ikan hama”. Soal bagaimana kelanjutan dari sahut-sahutan mengenai ikan mujair tersebut, saya tidak lagi mengikutinya.
Bisa jadi masih berlanjut terus atau malah sudah berhenti tanpa ada yang mengomandoinya. Yang jelas bahwa dengan ditayangkannya soal perdebatan di antara pihak-pihak yang berseberangan, sarana media sosial menjadikan mereka yang berbeda kubu menjadi terkenal ata lebih terkenal.
Media menjadikan mereka yang belum top menjadi menjadi top dan bagi yang sudah tergolong dan merasa top semakin lebih top lagi. Soal apakah dari peristiwa sahut-sahutan itu bermanfaat bagi pihak lain, saya tidak bisa menyimpulkannya.
Namun yang saya ketahui adalah bahwa segala sesuatu yang ada di kolong langit ini ada manfaatnya. Paling tidak sebagai contoh. Contoh yang buruk atau contoh yang baik.
Baca Juga: Innalillahi, 19 Jamaah Haji Wafat di Tanah Suci
Saya teringat kepada cerita dari seorang abdi yang bertugas sebagai penerima di lingkungan kerajaan di negeri nun jauh di sana. Orang bersangkutan menceritakan bahwa selama dirinya bertugas sebagai penerima tamu, kebiasaannya adalah duduk bersila.
Berdasarkan kebiasaan yang berlaku, sangat jarang penerima tamu melihat wajah tamu yang datang. Yang dilakukan adalah memperhatikan gerak langkah kaki dari tamu. Sang penerima tamu tidak “mengenal” wajah tamunya, akan tetapi yang lebih dikenal dan diketahui adalah kaki dari tamunya.
Sang penerima tamu tidak hafal dengan wajah sang tamu, tetapi yang dihafalnya adalah jejak kakinya. Lebih kenal jejak kaki daripada wajah tamu.
Beberapa waktu yang lampau saya menonton youtube. Dari tontonan youtube tersebut saya mendapatkan informasi mengenai bagaimana sebuah Negara yang pada tahun 80-an sampai dengan tahun 90-an berhadapan persoalan busung lapar.
Baca Juga: Korupsi, Nilai Agama dan Kompartementalisasi