Tidak Kelihatan Namun Meninggalkan Jejak
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Minggu, 03 Juli 2022 14:28 WIB
Oleh: Binoto Nadapdap
ORBITINDONESIA - Apakah manusia pada hakekatnya merupakan mahluk yang suka “mengiklankan diri”? Terhadap pertanyaan ini saya tidak mempunyai data untuk memberikan jawaban.
Pertanyaan ini bukan merupakan pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Pertanyaan ini tidak mudah dijawab dengan ia atau tidak, benar atau tidak benar, sepakat atau tidak sepakat.
Perlu ada penelusuran jauh ke jejak masa lalu untuk mengetahui jejak peradaban manusia dari masa ke masa. Dengan melakukan tamasya ke masa lalu jawaban, termasuk mempelajari prasasti yang berusia ribuan tahun, terhadap pertanyaan ini diharapkan akan mendapat jawaban yang memadai.
Baca Juga: Meskipun Serangan Rusia ke Ukraina Tetap Berlangsung, Yenny Wahid Bela Misi Perdamaian Jokowi
Namun bila dibandingkan dengan masa ketika media sosial belum seperti sekarang ini, sarana untuk “mengingklankan diri” atau bahasa netralnya adalah memperbaharui status sosial menjadi lebih mudah.
Jika pada masa lalu untuk memberitahukan mengenai apa yang terjadi terhadap diri seseorang tidak mudah untuk dilaksanakan. Katakalah ketika seseorang hendak menceritakan di mana seseorang itu sedang makan siang atau makan malam, bertemu dengan siapa, sedang apa atau bepergian ke mana tidak dapat dilaksanakan secara tepat waktu.
Selain tidak dapat dilakukan dengan tepat waktu, hal lain yang menjadi kendalan dalam “mengiklankan diri” butuh biaya. Katakanlan untuk memberitahukan kepada pihak lain, orang bersangkutan paling tidak butuh biaya.
Katakanlah perlu mengeluarkan biaya untuk membayar pula. Tanpa kesediaan untuk membayar biaya pulsa niat untuk memberitahukan sesuatu kepada orang lain atau publik akan menjadi terhalang.
Baca Juga: Akun Twitter Ini Menghina Presiden Joko Widodo Sampai Tjahjo Kumolo
Tanpa bersedia merogoh kocek, harapan untuk didengar atau diketahui oleh orang lain dalam waktu sekejap hanya berupa keinginan yang tidak akan terkabul. Sarana komunikasi membatasi niat untuk “mengiklankan diri” dalam waktu cepat. Paling tidak menceritakan sesuatu membutuhkan waktu untuk bertemu atau bertatap muka.
Pada masa sekarang ini, melalui media sosial kita dapat dengan mudah untuk “mengikuti” jejak orang lain, baik itu teman dekat, teman jauh atau orang yang belum pernah kita temui sama sekali.
Masa kini, kita mempunyai peluang untuk bertemu dengan pihak lain, sekalipun orang itu belum pernah kita lihat wajahnya. Salah seorang pengguna media sosial menceritakan, bahwa dirinya dalam menerima permintaan pertemanan dari seseorang tidak mempersoalkan ada tidak poto yang dipasang dalam profile.
Sekalipun di dalam profile hanya ditampilkan gambar tanaman atau tembok misalnya, pertemanan itu diterimanya tanpa banyak pertemanan. Setiap permintaan diterima begitu mudah tanpa persyaratan.
Baca Juga: Presiden Jokowi Diminta Selamatkan Wilayah Wadas Karena Bekas Markas Pangeran Diponegoro
Selama masih belum melewati kapasitas permintaan pertemanan langsung dikabulkan. Dan setengah bercanda orang bersangkutan mengatakan bahwa dirinya mempunyai teman di mana wajah temannya belum pernah dilihatnya walaupun dalam bentuk foto.
Kalau masa lalu, persyaratan yang paling mungkin untuk mengatakan seseorang itu teman, caranya adalah pernah bertemu secara fisik. Atau paling tidak ada pernah komunikasi melalui sahabat pena.
Dengan pihak lain, orang bersangkutan palijg tidak pernah saling mengirimkan dan menerima sepucuk surat. Dalam surat tertera tanda tangan dari pengirim surat. Dengan adanya tanda tangan dalam surat, ada dasar untuk mengatakan bahwa orang lain itu dapat dikategorikan sebagai “sahabat pena”.
Namun masa kini, ketika seseorang setiap hendak “mengiklankan diri” tidak perlu mengeluarkan biaya. Dengan modal membayar biaya langganan membeli paket, sarana media sosial memberi kesempatan kepada setiap orang untuk memberitahukan apa saja dari kegiatannya kepada masyarakat.
Baca Juga: Serangan Beruntun ke Ukraina, Pesan Khusus dari Putin untuk Negara Barat
Paling tidak kepada pihak yang mempunyai jaringan petemanan. Sekali klik, sedang melakukan aktivitas seseorang hal tersebut sudah dapat diketahui oleh pihak lain dalam waktu yang hampir bersamaan.
Soal pilihan apakah seseorang akan memberitahukan setiap aktivitasnya kepada masyarakat medsos, itu adalah soal hak asasi. Tidak ada aturan yang melarang atau membatasi seseorang untuk “mengiklankan diri” itu.
Sepanjang mempunyai sarana dan membayar paket adalah diperbolehkan untuk menginformasikan segala sesuatu kepada pihak lain. Batasan apa yang boleh dan tidak boleh diinfokan kepada pihak lain, sepenuhnya tergantung kepada pengguna media sosial.
Nanti jika sudah bersentuhan atau bersinggungan dengan pihak lain bisa jadi menjadi titik sempadan. Atau bisa juga terjadi koreksi atau permohonan dari pihak lain ketika yang dishare itu tidak demikian adanya atau ada keberatan dari pihak yang berkepentingan.
Baca Juga: Pemberitaan Media dan Bahaya Nara Sumber yang Tidak Memiliki Kredibilitas
Salah seorang intelektual Indonesia, di masa hidupnya mengemukakan tentang perilaku orang yang suka bersuara keras. Yang penting bersuara keras. Bagi yang bersuara keras, targetnya adalah bagaimana agar suaranya didengar oleh pihak lain.
Ketika mendapat kesempatan untuk bersuara keras, keinginan tercapai sudah. Orang bersangkutan mengatakan bahwa orang yang bersuara lantang, biasanya orang yang ngorok duluan.
Karena sudah capek mengoceh, kemudian kehabisan energi Karena sudah kehabisan energi akhirnya harus tunduk kepada hukum alam. Timbul kelelahan. Karena sudah lelah, maka untuk memulihkan tubuh, kemudian istirahat atau tidur adalah obatnya.
Belakangan ini kita disuguhkan sebuah “keriuhan” di media sosial, yaitu soal ikan mujair. Ada yang mengatakan bahwa ikan mujair adalah ikan hama. Dari pernyataan di media massa ada timbul kesan bahwa ikan mujair adalah makanan orang “deso”, sedangkan makanan orang “kota” adalah daging.
Baca Juga: Jokowi: Tjahjo Kumolo Nasionalis Sejati
Jadi kalau mau mengklaim diri sebagai orang kota jangan sekali-kali memakan “ikan hama”. Soal bagaimana kelanjutan dari sahut-sahutan mengenai ikan mujair tersebut, saya tidak lagi mengikutinya.
Bisa jadi masih berlanjut terus atau malah sudah berhenti tanpa ada yang mengomandoinya. Yang jelas bahwa dengan ditayangkannya soal perdebatan di antara pihak-pihak yang berseberangan, sarana media sosial menjadikan mereka yang berbeda kubu menjadi terkenal ata lebih terkenal.
Media menjadikan mereka yang belum top menjadi menjadi top dan bagi yang sudah tergolong dan merasa top semakin lebih top lagi. Soal apakah dari peristiwa sahut-sahutan itu bermanfaat bagi pihak lain, saya tidak bisa menyimpulkannya.
Namun yang saya ketahui adalah bahwa segala sesuatu yang ada di kolong langit ini ada manfaatnya. Paling tidak sebagai contoh. Contoh yang buruk atau contoh yang baik.
Baca Juga: Innalillahi, 19 Jamaah Haji Wafat di Tanah Suci
Saya teringat kepada cerita dari seorang abdi yang bertugas sebagai penerima di lingkungan kerajaan di negeri nun jauh di sana. Orang bersangkutan menceritakan bahwa selama dirinya bertugas sebagai penerima tamu, kebiasaannya adalah duduk bersila.
Berdasarkan kebiasaan yang berlaku, sangat jarang penerima tamu melihat wajah tamu yang datang. Yang dilakukan adalah memperhatikan gerak langkah kaki dari tamu. Sang penerima tamu tidak “mengenal” wajah tamunya, akan tetapi yang lebih dikenal dan diketahui adalah kaki dari tamunya.
Sang penerima tamu tidak hafal dengan wajah sang tamu, tetapi yang dihafalnya adalah jejak kakinya. Lebih kenal jejak kaki daripada wajah tamu.
Beberapa waktu yang lampau saya menonton youtube. Dari tontonan youtube tersebut saya mendapatkan informasi mengenai bagaimana sebuah Negara yang pada tahun 80-an sampai dengan tahun 90-an berhadapan persoalan busung lapar.
Baca Juga: Korupsi, Nilai Agama dan Kompartementalisasi
Pada saat itu, sebahagaian besar warga Negara bersangkutan berurusan dengan busung lapar, soal hidup mati. Untuk mengatasi persoalan busung lapar ini, sampai sejumlah artis dari Amerika Serikat mengadakan konser khusus untuk mengumpulkan dana amal bagaimana membantu Negara yang dilanda oleh persoalan busung lapar tersebut.
Salah satu lagunya yang cukup terkenal sampai dengan saat sekarang adalah “We are the world”.
Kini Negara yang dulunya sangat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di bidang pangan sekarang mereka sudah berhasil melewati masa amat sulit.
Masyarakat Ethiopia kini tidak lagi berurusan dengan bagaimana memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya. Masa kini negeri Ethiopia sudah berhasil menyediakan secara mandiri bagi penduduknya.
Baca Juga: Gabungkan Sistem TI, BSI Perkuat Digital Banking
Negeri Ethiopia sudah berswasembada pangan. Bahkan Ethiopia sudah mampu menyediakan makanan yang berlimpah bagi masyarakatnya. Negara ini berhasil keluar dari kesulitan yang cukup mendera selama bertahun-tahun berkat bantuan dan kemurahan hari dari Negara yang mempunyai teknologi di bidang pertanian.
Negara yang mempunyai teknologi pertanian memberikan bantuan kepada Ethiopia tanpa mempersoalkan Negara apa, warna kulit apa, kecenderungan masa lalu apa ataupun politik identitas lainnya.
Tetapi yang menjadi fokus urusan adalah bahwa manusia yang mempunyai kesulitan untuk memenuhi pangan harus dibangun. Dan ternyata Negara yang memberikan bantuan kepada Negara Ethiopia juga memberikan bantuan kepada Indonesia pada saat terjadi bencana Tsunami tahun 2004 yang lalu.
Tidak kelihatan tetapi meninggalkan jejak. Itu barangkali lebih baik daripada suara menggelegar akan tetapi habis itu hilang lenyap tanpa bekas. Selamat hari Minggu dan selamat meninggalkan jejak yang bermanfaat.***
Utan Kayu, 2 Juli 2022
Binoto Nadapdap adalah penulis buku dan dosen Pascasarjana UKI Jakarta.