DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Big Oil, Ketika Perusahaan Lebih Kuat Dibanding Negara

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Perusahaan tak hanya dilindungi oleh hukum kolonial, tapi juga oleh keheningan internasional.

Irak, 2003. Perang yang digagas atas nama demokrasi, ternyata membuka jalan bagi konsesi migas internasional yang sebelumnya tertutup selama era Saddam Hussein. 

Seorang jenderal AS pernah berbisik: “Kami membuka jalan bagi Chevron dan Halliburton. Itu saja cukup.”

Baca Juga: LSI Denny JA: Ada Lima Rapor Biru dan Dua Rapor Merah Selama Tujuh Bulan Prabowo–Gibran Memimpin

-000-

Big Oil hari ini tak hanya menjual bensin. Mereka mengendalikan rantai nilai dari bawah tanah hingga ke nosel SPBU. 

Mereka memiliki kapal tanker sendiri, pelabuhan LNG sendiri, sistem arbitrase global sendiri. 

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: 100 Tahun Gedung Bunga Rampai

Ketika BP bergabung dengan Amoco, Exxon dengan Mobil, Chevron dengan Texaco, itu bukan sekadar merger bisnis. Itu adalah penggabungan kerajaan.

Dalam narasi pasar bebas, semua pelaku seolah punya kesempatan yang sama. Tapi jika satu pihak mengendalikan infrastruktur dasar—pipa, pelumas, logistik, regulasi—lalu di mana letak kompetisi?

Pada 1977, ilmuwan ExxonMobil telah mengetahui dengan cukup akurat bahwa emisi karbon dari bahan bakar fosil akan menyebabkan pemanasan global signifikan. 

Baca Juga: Catatan Hamri Manoppo: Denny JA dan Peluang Nobel Sastra, Dari Puisi Esai Menuju Pengakuan Global

Tapi alih-alih bertindak, mereka justru mendanai think tank yang menyebarkan keraguan akan sains iklim.

Halaman:

Berita Terkait