DePA-RI Kunjungi KBRI Beijing, Dorong Solusi Pernikahan Warga RI dan China Lewat Perantaraan Agen
- Penulis : Mila Karmila
- Kamis, 03 Juli 2025 10:09 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Setelah menenuhi undangan untuk menyampaikan presentasi di kampus China University of Political Science and Law (CUPL), Luthfi Yazid memimpin delegasi DePA-RI (Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia) berkunjung ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Beijing, 1 Juli 2025.
Delegasi Luthfi Yazid dengan didampingi rombongan yang berjumlah 13 orang, di antaranya Abdul Aziz Zein, Sugeng Aribowo, Ainuddin Abdul Hamid, Aulia Taswin, Muhammad Irana Yudiartika, Wahyu Ramdhani, Ajrina Fradella, Rita Ria Safitri dan lain-lain.
Dari KBRI yang menerima diantaranya Nur Evi Rahmawati (Minister Counsellor), Irwansyah Mukhlis (Minister Counsellor, Political Affairs), Yudil Chatim (Education and Culture Attache). Kebetulan Duta Besar sedang menghadiri acara penting lainnya.
Baca Juga: Luthfi Yazid di Teras Masjid
Delegasi DePA-RI disambut dengan ramah, serta mengadakan diskusi disertai tanya jawab tentang Male Order Bride yang cenderung meningkat dan menimbulkan persoalan. Male Order Bride adalah pernikahan antara orang Indonesia dengan orang China melalui perantaraan agen yang ada di Indonesia maupun agen yang ada di China.
Terkait Male Order Bride, belum ada data dan jumlah yang pasti, akan tetapi kecenderungan Male Order Bride bermasalah meningkat. Pernikahan WNI dengan warga negara China “difasilitasi” oleh agen di kedua negara melalui iklan dan promosi yang menggiurkan.
Dalam promosi, misalnya, diinfokan bahwa calon suami yang WNA tersebut dikatakan seorang pengusaha, kaya, good looking, setia dan sebagainya. Persis seperti biro jodoh.
Baca Juga: Beijing Terbitkan 20.000 Pelat Nomor NEV untuk Rumah Tangga Tanpa Mobil
Setelah terjadi kesepakatan kemudian calon suami yang warga negara China tersebut membayar “mahar” kepada perempuan Indonesia melalui agen. Misalnya, membayar mahar Rp 100 juta atau Rp 300 juta. Akan tetapi uang yang sampai ke calon isteri hanya sebagian saja karena dipotong oleh agen.
Dalam praktiknya di lapangan, setelah mereka menenuhi persyaratan administratif untuk menikah dan dilaksanakan pernikahan, tidak lama timbul permasalahan. Muncul kekecewaan. Terutama karena ternyata sang suami, misalnya, hanyalah penjual kelontongan yang sangat kecil (meski juga bisa disebut “pengusaha”). Atau suaminya pemalas dan pengangguran.
Male Order Bride mirip dengan kawin kontrak, hanya saja Male Order Bride ini “dilegalisasi”.
Baca Juga: Pameran di Beijing, China Soroti Kebudayaan dan Kehidupan Nyonya di Asia Tenggara
Kemudian juga ternyata di China mereka tinggal di pelosok desa. Ini tidak sesuai dengan harapan si perempuan saat di Indonesia. Akhirnya timbul percekcokan, dan akhirnya si perempuan minta cerai. Nah si suami keberatan karena sudah merasa membayar “mahar”.
Kasus-kasus semacam ini banyak terjadi di China. Tentu saja KBRI punya ada keterbatasan untuk menyelesaikan tuntas masalah ini, sebab semua persyaratan formal dipersiapkan oleh agen. Maka agen mempunyai tanggungjawab penuh. Harus memberikan ingormasi yang akurat tentang calon suami, umpamanya, keadaan ekonomi si calon maupun domisili persissnya, gambaran kotanya dan sebagainya. Jika tidak, ada risiko pidana bagi agen.
KBRI Beijing dengan personel yang terbatas sementara begitu banyak persoalan umpamanya tentang mahasiswa Indonesia yang belajar di negeri tirai bambu ini mencapai 14 ribu, intensitas perdagangan ekspor-impor China-Indonesia terus meroket.
Baca Juga: Film "Assalamualaikum Beijing 2" Gambarkan Keindahan Ningxia, China
Oleh sebab itu, terkait Male Order Bride perlu pembenahan dan penertiban dari awal terutama di level agen, agar agen tidak lepas tangan. DePA-RI, menurut Luthfi Yazid, menyatakan siap jika harus ikut mensosialisasikan informasi legal yang diperlukan.
Jika masalah Male Order Bride ini tidak ditangani lebih awal, kata Luthfi Yazid, dikhawatirkan menjadi masalah sosial-politik yang makin kompleks. Sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan agent untuk mengirim orang Indonesia untuk belajar di luar negeri atau mengirim orang untuk bekerja. Hanya saja kalau pekerja dari Indonesia ke Tiongkok tidak diperkenankan, kecuali untuk pekerjaan yang menuntut spesialisasi dan keahlian (expertise).
Berbeda persoalannya dengan kasus-kasus yang muncul di luar negeri, misalnya kasus TKI, TKW atau sejenisnya terkait pekerja Indonesia di luar negeri.
Baca Juga: Luthfi Yazid dari DePA-RI Mewakili Indonesia Tandatangani MoU dengan Asosiasi Advokat Beijing China
DePA-RI, misalnya, melalui KBRI Tokyo membantu secara cuma-cuma kasus penipuan yang dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang tinggal di Jepang bernama Eliza Sastra. Eliza menipu warga Indonesia dengan dijanjikan berangkat bekerja atau belajar di Jepang dengan membayar. Tapi faktanya, setelah membayar ternyata semuanya pepesan kosong.
Inilah berbagai macam permasalahan warga negara Indonesia di luar negeri, yang tidak mungkin hanya dibebankan kepada KBRI saja. Dari tanah, baik imigrasi, depnaker, pemda dan instansi terkait untuk pengiriman warga Indonesia ke luar negeri harus dibenahi. ***