Buku Candy Darling: Dreamer, Icon, Superstar - Memoar dari Cahaya Panggung yang Tak Pernah Padam
- Penulis : Irsyad Mohammad
- Kamis, 19 Juni 2025 14:59 WIB

Bahwa feminitas yang dipilih—dan bukan diwariskan secara biologis—bisa lebih subversif daripada semua wacana akademik tentang gender. Candy tahu bahwa tubuhnya akan selalu dipertanyakan. Maka ia memilih menjawabnya dengan eyeliner dan lipstik: bukan untuk menyembunyikan, tapi untuk merayakan.
Yang membuat buku ini sangat kuat adalah bagaimana Carr tak hanya menulis tentang Candy, tapi juga tentang semua yang gagal melindunginya. Tentang industri film yang terus mengolok-olok, tapi tak pernah benar-benar memberi peran.
Tentang komunitas seni yang kadang terlalu sinis untuk benar-benar mencintai. Tentang gerakan queer awal yang masih dilanda perpecahan, maskulinitas toksik, dan invisibilitas trans perempuan.
Baca Juga: Buku Malcolm Gladwell, Outliers: The Story of Success, Kesuksesan Bukan Sekadar Soal Kerja Keras
Tapi juga tentang para sahabat yang tetap bersamanya: Andy Warhol, Jackie Curtis, Holly Woodlawn. Dunia Warhol, dengan segala keanehannya, adalah tempat di mana Candy bisa menjadi dirinya—meskipun dengan harga yang mahal.
Warhol melihat Candy sebagai karya seni hidup. Namun Carr dengan halus mengungkapkan dilema: apakah Candy dicintai sebagai manusia, atau hanya sebagai simbol dari keanehan yang sedang tren?
Candy Darling adalah seorang aktris yang tak pernah mendapat peran utama di layar, tapi Carr memberinya peran utama di halaman-halaman buku ini. Kita melihat Candy tertawa, menari, menangis, menulis puisi tentang kematian, dan mencatat dengan rapi di buku harian bahwa ia tidak takut mati, hanya takut dilupakan.Carr menjawab ketakutan itu dengan buku ini. Dan kita menjawabnya dengan air mata dan rasa kagum.
Baca Juga: Buku Karen Armstrong, The Lost Art of Scripturalism
Carr menulis dengan bahasa yang tidak menggurui. Ia mengajak kita menyusuri dunia Candy dengan rasa hormat, bukan rasa ingin tahu murahan.
Ia tidak menekankan penderitaan Candy sebagai pusat cerita, tapi justru memperlihatkan cara Candy mengubah penderitaan itu menjadi estetika. Setiap helai rambut palsu, setiap pose dramatis, setiap kalimat dari mulut Candy adalah cara untuk bertahan di dunia yang menganggap tubuhnya sebagai kesalahan.
Di zaman kita hari ini, ketika perdebatan tentang gender kembali mengeras, buku ini datang sebagai pengingat yang indah sekaligus menyakitkan: bahwa hak untuk bermimpi tidak bisa diregulasi. Candy tidak meminta negara untuk mengakuinya.
Baca Juga: Buku John Palmeyer, “Ketika Iman Jadi Ancaman: Refleksi Kritis dalam Is Religion Killing Us?”
Ia hanya ingin diperhatikan—dilihat, didengar, dicintai, seperti siapa pun. Dan dalam hal itulah, buku ini tidak hanya menjadi biografi, tapi juga ziarah: ke altar yang telah didirikan oleh para queer pendahulu, dengan tubuh dan nyawa mereka sendiri sebagai fondasinya.