Penelitian Sebut Tarif AS Akan Picu Krisis Energi di Tengah Ketidakpastian Ekonomi Global
- Penulis : Dody Bayu Prasetyo
- Rabu, 04 Juni 2025 04:31 WIB

ORBITINDONESIA.COM -- Kebijakan tarif besar-besaran Amerika Serikat (AS) yang diberlakukan oleh pemerintahan Donald Trump telah menimbulkan kerugian besar di sektor energi negara tersebut, mulai dari produksi minyak hingga pengembangan energi terbarukan, demikian menurut analisis terbaru.
Kebijakan tarif pemerintahan Trump itu justru berbalik merugikan sektor energi AS, dengan penelitian terbaru dari Wood Mackenzie (WoodMac), firma konsultan analitik sumber daya energi dan alam terkemuka, menunjukkan bahwa perang dagang dapat mengikis proyeksi pertumbuhan permintaan minyak, menghambat investasi energi terbarukan, dan menjerumuskan negara itu ke dalam isolasi energi berbiaya tinggi yang melemahkan daya saing globalnya.
Penelitian yang dirilis pada akhir Mei itu menyatakan bahwa pengumuman tarif "Hari Pembebasan" (Liberation Day) oleh Presiden Trump pada 2 April disebut sebagai "momen yang bisa dibilang paling krusial bagi ekonomi global sejak masuknya China ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 2001."
Baca Juga: South Centre Desak Negara-Negara Berkembang Bersatu Lawan Penyalahgunaan Tarif AS
Namun, berbeda dengan masuknya China yang secara signifikan memacu pertumbuhan global, tarif AS yang tinggi dan pembalasan internasional mengancam akan menghancurkan hubungan perdagangan yang sudah mapan dan mempercepat penarikan diri dari globalisasi, menurut firma tersebut.
WoodMac mengembangkan tiga skenario untuk menilai dampak kebijakan perdagangan Trump, dengan skenario "perang dagang" terparah memperkirakan tarif efektif AS melebihi 30 persen. Dalam skenario ini, pertumbuhan domestik bruto (PDB) global diproyeksikan akan menyusut 2,9 persen pada 2030, menurut analisisnya.
Industri minyak, yang menjadi pilar utama kemandirian energi AS, khususnya menghadapi konsekuensi yang sangat serius di bawah kebijakan tarif Trump. Dalam skenario terburuk, permintaan minyak global akan mengalami "penurunan signifikan" pada 2026. Meskipun pertumbuhan permintaan akan kembali berlanjut mulai 2027, jumlah permintaan secara keseluruhan pada 2030 tetap akan lebih rendah 2,5 juta barel per hari dibandingkan skenario paling optimistis.
Baca Juga: Uni Eropa Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Akibat Kenaikan Tarif AS dan Ketidakpastian
Harga minyak diperkirakan akan anjlok menjadi rata-rata 50 dolar AS (1 dolar AS = Rp16.297) per barel pada 2026. Penurunan ini akan sangat berdampak bagi produsen minyak serpih (shale oil) di AS.
Menurut penelitian WoodMac, ekonomi pengeboran di Lower 48 (48 negara bagian di Amerika Serikat, minus Alaska dan Hawaii) tidak akan mendukung pertumbuhan produksi jika harga minyak mentah berada di level 50 dolar AS per barel. Hal ini terjadi meskipun perusahaan-perusahaan berusaha keras menurunkan titik impas mereka agar tetap bisa berproduksi.
Penurunan harga ini akan memaksa pengurangan investasi yang signifikan dan menyebabkan penurunan produksi minyak AS hingga 2030. Pertumbuhan pasokan di luar AS juga akan terdampak oleh anggaran yang berkurang untuk proyek hulu, dengan perkiraan tertundanya pembangunan yang belum dimulai.
Baca Juga: Bursa Eropa Anjlok Usai Trump Ancam Akan Terapkan Tarif 50 Persen terhadap Impor dari Uni Eropa
Di sektor energi, biaya tambahan dan ketidakpastian yang ditimbulkan oleh tarif menciptakan hambatan bagi investasi dan mempersulit peningkatan pasokan.