Presiden Trump Berencana Relokasi 1 Juta Warga Palestina dari Gaza ke Libya
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Sabtu, 17 Mei 2025 16:34 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Pejabat senior Presiden AS Donald Trump sedang menyusun rencana untuk merelokasi sekitar setengah dari populasi sekitar 2,2 juta orang Jalur Gaza yang terkepung ke Libya, menurut laporan yang diterbitkan pada Jumat, 16 Mei 2025.
Rencana tersebut akan memindahkan hingga satu juta warga Palestina ke negara Afrika Utara tersebut, lapor NBC News, mengutip lima sumber yang mengetahui rencana itu. Dua dari sumber tersebut mengatakan usulan tersebut telah berkembang cukup jauh hingga dibahas langsung dengan pimpinan Libya.
AS telah menawarkan untuk mencairkan miliaran dolar dana Libya yang dibekukan jika negara itu setuju menampung warga Palestina yang mengungsi, kata tiga dari sumber itu.
Baca Juga: WHO: 57 Anak Gaza Meninggal Kelaparan Sejak Blokade Israel 2 Maret 2025
Mereka mengatakan pemerintah Israel telah mengikuti perkembangan pembicaraan tersebut dan menekankan bahwa belum ada kesepakatan final yang dicapai.
Trump mengatakan pada Kamis bahwa AS seharusnya mengambil alih Gaza dan mengubahnya menjadi "zona kebebasan."
"Saya punya konsep untuk Gaza yang menurut saya sangat bagus, jadikan itu zona kebebasan, biarkan Amerika Serikat terlibat dan jadikan itu zona kebebasan,” katanya kepada wartawan di Qatar sebelum berangkat ke Uni Emirat Arab, tujuan terakhir dari kunjungannya di Teluk.
Baca Juga: Presiden Turki Erdogan ke Trump: Bantu Akhiri Tragedi Kemanusiaan di Gaza
"Buat zona kebebasan yang sesungguhnya, karena tampaknya Gaza, setiap waktu, setiap 10 tahun, selalu terjadi lagi, bahkan lebih dari itu. Sebenarnya terus berulang. Itu tidak pernah menyelesaikan masalah Gaza,” ucapnya.
Trump mengatakan bahwa "jika itu diperlukan, saya pikir saya akan bangga jika Amerika Serikat memilikinya, mengambilnya, menjadikannya zona kebebasan."
"Biarkan hal-hal baik terjadi. Tempatkan orang-orang di rumah di mana mereka bisa merasa aman, dan Hamas harus ditangani," tambahnya.
Seorang pejabat Gedung Putih mengatakan kepada Anadolu bahwa laporan tersebut “tidak benar.”