DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Akhirnya yang Menang adalah Cinta

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Inspirasi dari Film The Count of Monte Cristo (2024, Adaptasi Novel Besar Alexandre Dumas)

ORBITINDONESIA.COM - Edmond Dantès memiliki semua alasan dan keahlian untuk membalas dendam. Ia punya pengetahuan, kekuatan, harta, dan identitas baru yang menjadikannya lelaki paling berbahaya di negeri itu.

Namun pada akhirnya, ia tak jadi membunuh musuh terakhirnya. Sebab di wajah sang musuh, ia melihat mata seorang anak yang tak tahu apa-apa.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Paus Baru di Era Artificial Intelligence

Karena di tubuh sang pengkhianat, ia masih menemukan jejak cinta yang pernah ia puja.
Ia menang, tapi bukan karena pedang. Ia menang karena cinta.

-000-

Lama saya merenung setelah menonton film The Count of Monte Cristo.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Memahami Kecenderungan Politik dari Dalam Diri

Selama hampir tiga jam, saya terdiam. Lepas dari dunia nyata. Seolah tercemplung hadir di dalam film itu sendiri.

Disutradarai oleh Matthieu Delaporte dan Alexandre de La Patellière, yang juga menulis naskahnya, film ini menampilkan Pierre Niney secara memukau sebagai Edmond Dantès.

Apa rasanya dipenjara dan disiksa bertahun-tahun untuk kejahatan yang tak pernah kita lakukan?
Apa rasanya tubuh menjadi kurus oleh derita, dan jiwa menjadi pahit oleh pengkhianatan?

Baca Juga: Catatan Denny JA: Bill Gates Versus Elon Musk, Dua Jalan Peradaban

Itulah yang dialami Edmond Dantès. Seorang pelaut muda yang jujur dan penuh harapan. Ia dijebak oleh sahabatnya sendiri, Fernand, yang menginginkan kekasihnya: Mercèdès.

Dalam sekali surat palsu, ia dijatuhkan. Dalam senyum jaksa korup, ia dilenyapkan.

Di penjara bawah tanah Chateau d’If yang gelap dan dingin, Edmond kehilangan tahun demi tahun.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Mereka Menemukan Cinta dan Menikah dalam Komunitas Puisi Esai

Namun takdir mempertemukannya dengan Abbé Faria—tahanan tua, cendekiawan, sekaligus peta hidup menuju harta karun legendaris.

Di balik jeruji besi, Edmond tidak mati. Ia belajar.
Ia berguru tentang bahasa, sains, sejarah, matematika, filsafat, bahkan seni menyusun strategi.

Ketika Abbé wafat, Edmond menggantikan tubuhnya di kantong jenazah. Ia melarikan diri ke laut.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Menemukan Jalan Karier Sejati

Dunia mengira ia mati. Tapi sebenarnya, ia lahir kembali.

Dengan harta karun dari Pulau Monte Cristo, ia hidup sebagai orang baru: Count of Monte Cristo. Gagah, kaya raya, misterius. Ia hanya punya satu misi: membalas dendam.

-000-

Satu demi satu, mereka yang menghancurkan hidupnya dilumpuhkan.
Danglars, si pencatat keuangan licik, bangkrut. Villefort, sang jaksa korup, hancur oleh rahasia kelam keluarganya sendiri.

Fernand—sahabat yang mencuranginya—tak bisa lagi menyembunyikan masa lalunya.

Namun justru ketika kemenangan sepenuhnya dalam genggaman, Edmond mulai goyah.

Pada satu sore yang sunyi, ia bertemu kembali dengan Mercèdès. Kini istri Fernand, ibu dari seorang anak.

Ketika ia menatap wajah Count yang asing itu, mata Mercèdès berkaca.

Ia tak melihat nama. Tak melihat gelar.
Ia merasakan cinta masa muda yang tak pernah benar-benar hilang.

Mercèdès tahu: lelaki ini adalah Edmond Dantès—cinta sejatinya yang direnggut oleh kejahatan.

Dan Edmond pun melihat bukan hanya pengkhianatan. Ia melihat cinta yang dulu murni. Ia melihat sebuah keluarga yang akan hancur jika ia teruskan dendam ini.

Anak yang tak bersalah.
Seorang perempuan yang diam-diam terus mencintainya, sepanjang waktu.

-000-

Di titik itulah, Edmond melepaskan dendam terakhirnya.
Ia memilih pergi. Ia memilih hidup yang baru.

Di atas kapal, jauh dari kota-kota yang gaduh oleh politik dan darah, Edmond menulis dua kata terakhir dalam catatannya:

Wait and Hope.
Tunggulah. Dan berharaplah.

Karena akhirnya, yang menang bukanlah kebencian. Tapi cinta.

-000-

Alexandre Dumas, penulis novel ini, adalah putra dari jenderal kulit hitam pertama di Prancis. Ia menulis The Count of Monte Cristo antara tahun 1844–1846 (1). Ia juga menulis The Three Musketeers pada tahun yang sama.

Novel ini menjadi klasik bukan hanya karena alurnya yang penuh kejutan dan petualangan, tetapi juga karena kedalaman moralitasnya.

Ia bukan semata kisah pembalasan, melainkan kisah perubahan batin manusia. Tentang bagaimana penderitaan menjadi sekolah bagi jiwa.

Tentang bagaimana cinta dan pengampunan bisa membungkam dendam yang paling gelap.

-000-

Hari ini, kita hidup di zaman yang berbeda. Namun luka karena pengkhianatan, sakit hati karena cinta yang dirampas, dan godaan untuk membalas dendam tetaplah sama.

Dunia digital telah berubah. Tapi luka hati tetaplah manusiawi.

Di antara debu sejarah dan gemuruh zaman, Edmond bukan lagi arsitek dendam yang terampil. la adalah cermin retak bagi kita semua. Bagaimana luka bisa menjadi lentera, Dan pengampunan adalah senjata paling purba.

Ketika algoritma menggantikan pedang, dan kebencian viral lebih cepat dari kasih, pilihan Edmond mengingatkan. Kemenangan sejati adalah ketika kita berani
melihat musuh dalam cahaya yang sama dengan diri kita yang rapuh.

Dari Edmond Dantès, kita belajar bahwa kekuasaan terbesar bukanlah ketika kita bisa membalas dendam—tetapi ketika kita memilih untuk tidak membalasnya. Karena cinta telah mengalahkan segalanya.

Dan dalam dunia yang keras dan hiruk-pikuk ini, dua kata sederhana bisa menjadi petunjuk hidup:

Tunggulah. Dan berharaplah.***

Jakarta, 16 Mei 2026

CATATAN
(1) Untuk tinjauan lengkap novel The Count of Monte Cristo oleh Alexandre Dumas, lihat:

https://thelongvictorian.com/2020/08/20/book-review-the-count-of-monte-cristo-by-alexandre-dumas/?utm_source=chatgpt.com

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/p/18p5ZXbRDC/?mibextid=wwXIfr

Halaman:

Berita Terkait