Suroto: Demokratisasi Ekonomi, Agenda yang Terlupa dari Reformasi
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Kamis, 15 Mei 2025 10:00 WIB

Oleh Suroto*
ORBITINDONESIA.COM - Salah satu hasil Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang digelar atas tuntutan reformasi 1998 yang dimotori mahasiswa adalah TAP MPR/ XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokratisasi Ekonomi. Namun ternyata, setelah 27 tahun lamanya, agenda demokratisasi ekonomi ini tidak pernah dilaksanakan. Apa yang terjadi justru sebaliknya, sistem ekonomi semakin konsentratif dan monopolistik.
Disebut dalam konsideran TAP MPR tersebut bahwa prinsip prinsip dasar demokrasi ekonomi, sesuai Pasal 33 UUD 1945 belum dilaksanakan. Alasan lain, penumpukkan aset dan pemusatan kekuatan ekonomi pada seseorang, sekelompok orang atau perusahaan tidak boleh terjadi dan harus ditiadakan.
Baca Juga: Saepudin Muhtar: Ekonomi Kerakyatan Kunci Atasi Deindustrialisasi yang Terjadi Saat Ini
Era reformasi berjalan seperti tanpa tujuan. Struktur sosial ekonomi saat ini ternyata tidak pernah berubah. Rakyat banyak tetap hidup dalam sistem ekonomi mikro pertanian dan perdagangan kelas gurem, lemah dan serabutan. Sementara, segelintir elite kaya terus kuasai industri, perdagangan dan perkebunan kelas menengah ke atas.
Menurut klasmopologi pelaku usaha dari Kementerian Usaha Mikro Kecil Menengah /UMKM (2024), pelaku ekonomi kita ternyata 99,6 persen atau kurang lebih 64 juta hidupnya bergantung dari usaha skala mikro kelas gurem dan usaha kecil. Usaha kecilnya 138,000 atau 0,35 persen. Sementara usaha menengah adalah sebesar 80.245 atau 0,05 persen dan usaha besar sebanyak 5.600 atau 0,0006 persen dari total pelaku usaha kita.
Kontribusi ekonomi dari 99,9 persen pelaku usaha mikro dan kecil hanya kuasai kue ekonomi kurang lebih 18 persen. Sisanya 82 persen dikuasai usaha besar dan usaha menengah yang juga merupakan kepanjangan dari usaha usaha besar (Suroto, dalam Prisma, 2023).
Baca Juga: Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi Akan Minta Pakar Evaluasi Kegiatan Ekonomi di Pegunungan
Gambaran pelaksanaan demokrasi ekonomi sesuai dengan Konstitusi ekonomi semakin jauh dari cita cita Konstitusi dan reformasi. Konsentrasi kekayaan dan pendapatan semakin menumpuk pada segelintir orang. Menurut laporan lembaga Oxfam (2023), kekayaan dari 4 keluarga konglomerat itu sama dengan 100 juta rakyat Indonesia yang termiskin.
Rakyat banyak menjadi miskin secara struktural. Sehingga tak mampu hasilkan tabungan dan berarti tidak memiliki kemampuan investasi. Pada akhirnya, rakyat banyak tidak memiliki peluang dan instrumen untuk mengkreasi kekayaan, sehingga mereka terus mewariskan kemiskinan.
Pasal 33 UUD 1945 yang menganut sistem demokrasi ekonomi menjadi kehilangan maknanya. Demokrasi ekonomi, sistem ekonomi konstitusi kita yang memungkinkan dari seluruh rakyat untuk mendapatkan kesempatan berpartisipasi aktif dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi menjadi terabaikan. Makna gotong royong dan cita cita negara menuju masyarakat adil dan makmur menjadi tersiakan.
Baca Juga: Menteri ESDM Bahlil Lahadalia: Mudik Lebaran 2025 Dorong Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Demokrasi Politik Minus Demokrasi Ekonomi
Sejak era reformasi, perhatian masyarakat memang lebih banyak tertumpu pada pemenuhan hak demokrasi politik, dan lupakan agenda demokrasi ekonomi. Padahal hukumnya jelas, demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi itu hanya akan lahirkan satu rezim yang justru anti demokrasi.
Sistem kapitalisme yang menjadi praktik kebijakan ekonomi politik kita selama ini telah membuat rakyat banyak hidup sengsara. Kemiskinan dan kesenjangan terus menjadi masalah serius bangsa. Kerusakan lingkungan akibat orientasi pengejaran keuntungan semata oleh terutama korporasi privat telah menghancurkan alam.
Baca Juga: Ekonomi Bank Mandiri Andry Asmoro: Indonesia Punya Penyangga Kuat Merespon Tekanan Pasar Global
Di dalam sistem demokrasi politik yang terpisah dengan demokrasi ekonomi itu pada akhirnya kuasa jatuh di tangan elite kaya dan elite politik. Hukum dan peraturan serta kebijakan pemerintah hanya berfungsi lindungi dan untungkan kepentingan mereka. Kebijakan ekonomi yang terjadi akhirnya tetap bersifat koruptif, kolutif dan nepotis.
Negara hari ini, dalam posisi telah dikangkangi dan tersubordinasi oleh kuasa konglomerasi korporasi besar. Pemerintah hari ini menjadi semakin lemah di hadapan para mafia kartel. Masyarakat sipil telah tersubordinasi. Pembodohan massal terjadi di mana-mana.
Agenda Demokratisasi Ekonomi
Baca Juga: Menhub Dudy Purwagandhi: Penurunan Jumlah Pemudik 2025 Bukan Tanda Ekonomi Melemah
Demokrasi ekonomi, sebagaimana menjadi sistem ekonomi Konstitusi kita adalah suatu sistem ekonomi yang kehendaki partisipasi ekonomi rakyat banyak di dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi. Artinya ekonomi boleh bertumbuh, namun harus penuh partisipasi rakyat dalam proses kepemilikan, dan kendali ekonomi.
Kondisi ketimpangan yang bersifat asimetris dan jangka panjang itu juga menandakan bahwa sebab sebab kemiskinan yang ada itu sifatnya struktural. Sehingga harus dilakukan perombakan sistem secara fundamental, tak cukup hanya dengan program program karitatif dan tambal sulam.
Di sinilah agenda demokratisasi ekonomi untuk meredistribusi kekayaan dan pendapatan itu berperan. Demokrasi ekonomi tujuan utamanya adalah untuk menciptakan kesetaraan setiap orang untuk turut mengambil keputusan terutama menyangkut hidup mereka di perusahaan sebagai jantung ekonomi.
Baca Juga: Wisata Hiu Paus di Gorontalo Tingkatkan Ekonomi Pelaku UMKM di Desa Botubarani
Berangkat dari hal tersebut maka, pembangunan kedepan harus mampu mendorong perkembangan pelaksanaan sistem demokrasi ekonomi. Sebab hanya demokrasi politik yang mendapat landasan demokrasi ekonomi yang kuatlah kedaulatan itu akan tetap ditangan rakyat dan ekonomi rakyat menjadi kuat.
Berikut ini adalah beberapa agenda demokratisasi ekonomi yang harus kita lakukan :
1. Pendapatan minimum warga negara (Universal Basic Income/UBI) dari sumber fiskal untuk pastikan tak ada yang mati kelaparan
Baca Juga: Memperingati Hari Bumi, BNI Beri Insentif dan Luncurkan Aksi untuk Ekonomi Hijau
2. Pembagian saham untuk buruh (Employee Share Ownership Plan/ESOP)
3. Pembatasan rasio gaji teratas dan terbawah
4. Laksanakan reformasi agraria sejati sampai hingga ke tata usaha pertanian
Baca Juga: RSF: Kebebasan Pers Dunia Tergerus Tekanan Ekonomi, Peringkat Indonesia Turun 16 Tingkat
5. Akhiri drama kejatuhan harga untuk petani, pekebun, nelayan, petambak, peternak, perajin dengan integrasikan sektor budidaya (on farm), pemrosesan dan pemasaran (off farm) hingga pendukungan keuangan, logistik dan lain lain (non farm) di dalam satu lembaga demokratis milik mereka
6. Hentikan jebakan pertumbuhan ekonomi konstan yang masuk melalui skema utang haram, investasi sektor komoditi ekstraktif yang merusak dan juga disandera oleh oligopoli internasional, penyerobotan tanah dan jebakan importasi pangan
7. Demikratisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan kepemilikan langsung oleh rakyat
Baca Juga: Menhub Dudy Purwagandhi: Tiga Bandara Kembali Berstatus Internasional Demi Dukung Perekonomian
8. Hentikan model kebijakan paket input dan perkuat kelembagaan ekonomi milik masyarakat
9. Kembangkan kelembagaan ekonomi demokratis model koperasi di berbagai sektor dengan hancurkan hambatan dan diskriminasi yang selama ini diperlakukan kepada bangun perusahaan yang sesuai dengan demokrasi ini
10. Bentuk UU Sistem Perekonomian Nasional seperti perintah Konstitusi Pasal 33 ayat 5 UUD NRI 1945
Baca Juga: Tarif AS-China Turun Tajam, Apa Artinya untuk Ekonomi Dunia?
Demikian agenda penting demokratisasi ekonomi untuk hancurkan ke akar akarnya sistem plutogarki atau kuasa di tangan elit kaya dan elit politik selama ini.
Jakarta, 11 Mei 2025
*Suroto, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Chief Executive Officer/CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR), Direktur Cooperative Research Center (CRC) Institut Teknologi Keling Kumang.***